Selasa, 28 Juni 2011

Kisah Dua Orang Ibu yang Anak Salah Seorang dari Keduanya Dicuri Srigala


Kisah Dua Orang Ibu yang Anak Salah Seorang dari Keduanya Dicuri Srigala



Pengantar
Kisah ini memaparkan kepintaran Nabiyullah Sulaiman yang luar biasa dalam mengungkapkan kebenaran dalam sebuah persengketaan tanpa bukti-bukti yang membimbing kepada pemilik hak. Sulaiman menampakkan bahwa dirinya hendak membunuh bayi yang diperebutkan oleh dua orang wanita yang masing-masing mengklaim sebagai ibunya. Maka terbuktilah siapa ibu yang sebenarnya, yaitu yang merelakan anaknya diberikan kepada lawannya agar bayi itu tidak dibunuh demi menjaga hidupnya padahal lawannya itu bersedia menerima bayi yang akan dibelah dua oleh Sulaiman.
Teks Hadis
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Ada dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, 'Serigala itu mencuri anakmu.' Yang lain menjawab, 'Anakmulah yang dicuri oleh serigala.' Keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud, maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua. Keduanya pergi kepada Sulaiman  dan menyamapkan hal itu. Sulaiman berkata, 'Ambillah untukku pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.' Wanita muda berkata, 'Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah anaknya.' Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda."
Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, inilah untuk pertama kalinya aku mendengar kata 'sikkin' (pisau). Kami selama ini mengatakannya 'mudyah' (pisau)."
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya', bab biografi Sulaiman, 6/458 no. 3427
Dalam Kitabul Faraidh , bab jika seseorang wanita mengakui seorang anak, 12/55, no. 6769.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Aqdhiyah, bab perbedaan para mujtahid, 3/1344, no. 1720.
Hadis ini dalam Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, 12/380.
Diriwayatkan  oleh Nasa'i dalam Kitabul Qadha', 8/234
Penjelasan Hadis
Kisah ini terjadi pada zaman Nabiyullah Dawud Alaihis Salam. Ada dua orang wanita yang berhukum kepadanya ketika seekor serigala membawa kabur anak salah seorang dari keduanya. Keduanya memperebutkan anak yang selamat. Masing-masing mengklaim bahwa ia adalah anaknya. Maka Nabiyullah Dawud berusaha untuk memberi hukum kepada keduanya. Usahanya membimbingnya kepada suatu hukum bahwa anak ini adalah anak wanita yang tua berdasarkan kepada dalil-dalil yang digunakan oleh Dawud.
Keduanya keluar dari hadapan Dawud dan melewati Nabiyullah Sulaiman Alaihis Salam. Sulaiman melihat bahwa persoalan ini bisa diselesaikan dengan suatu cara untuk mengetahui  ibu anak tersebut yang sebenarnya. Sulaiman meminta pisau kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya untuk digunakan sebagai alat yang membelah tubuh anak ini menjadi dua bagian, sehingga masing-masing mendapatkan separuh. Inilah hukum yang adil di antara keduanya. Kedua wanita ini menyangka Sulaiman serius dan pasti melakukan hukum itu. Di sinilah terlihat respon dari kedua wanita itu. Ibu yang sebenarnya, yaitu si ibu muda, bersedih terhadap hukum ini. Karena hal itu sama dengan membunuh anaknya, maka dia merelakan anaknya di ambil oleh lawannya sehingga anaknya bisa tetap hidup, walaupun dia tidak bisa menjaga dan mendidiknya. Sedangkan seterunya, yang tidak terkait oleh ikatan keibuan dengan anak itu, dia menerima hukum yang hendak dilaksanakan oleh Sulaiman tersebut. Dengan inilah Sulaiman berdalil maka ibu anak ini yang sebenarnya. Maka dia memutuskan bahwa ibu yang berhak terhadap anak itu adalah si ibu muda, walaupun dia mengakui bahwa anak itu adalah anak seterunya.
An-Nawawi berkata, "Sulaiman menggunakan cara berpura-pura dan sedikit tipu daya untuk mengetahui perkara yang sebenarnya. Dia menunjukkan kepada keduanya seolah-olah dia ingin membelah anak itu untuk mengetahui siapa yang bersedih jika anak itu dibelah, maka dialah ibu yang sebenarnya. Ketika wanita yang lebih tua menyetujui  jika anak ini dibelah, terbuktilah bahwa dia bukan ibu ang seberanya. Ketika yang muda berkata seperti apa yang dikatakannya, maka diketahui bahwa dialah ibunya. Sulaiman tidak ingin benar-benar membelah, dia ingin menguji kasih saying mereka berdua untuk membedakan mana ibu yang sebenarnya. Ketika ia bisa dibedakan dnegan ucapannya, maka Sulaiman mengetahuinya. (Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, 12/381).
Cara yang digunakan Sulaiman untuk mengetahui kebenaran adalah semacam firasat. Dia memutuskan hukum dengan berdasarkan alibi dan tanda-tanda pendukung, tidak terpaku hanya pada keterangan dan keadaan permukaannya saja. Seorang saksi dari keluarga wanita telah memberikan kesaksian atas kebenaran Yusuf dan kebohongan wanita itu dengan berpijak pada baju Yusuf yang robek di bagian belakang, "… dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar." (Yusuf: 26-28).
Para pengadil di kalangan kaum muslimin menggunakan beberapa dalil dan bukti-bukti yang unik untuk mengungkap kebenaran. Para pemakainya hanyalah orang-orang  yang benar-benar pintar dan cerdik.  Di antara pengadil yang terkenal dalam urusan ini adalah Ali bin Abi Thalib, Hakim Syuraikh, dan hakim Iyas. Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasatisy Syar'iyati telah menyebutkan banyak contoh penggunaan cara ini oleh beberapa hakim untuk membuka kebenaran, yaitu dengan firasat dan tanda-tanda. (Ath-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 27. Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/66).
Al-Qur'an telah memberitakan tentang kejadian lain ketika Nabiyullah Sulaiman menyelisihi bapaknya Dawud Alaihis Salam dalam masalah hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya, "Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu …" (Al-Anbiya: 78-79).
Nafsyu adalah melepas kambing di malam hari, sedangkan di siang hari disebut hamlu. Inti kisah ini adalah sebagaimana dikatakan oleh ulama tafsir, bahwa kambing kambing milik seseorang masuk ke kebun orang lain di waktu malam, dan ia memakannya sampai habis.
Maka keduanya berhakim kepada Dawud. Dawud memutuskan bahwa kambing-kambing harus diserahkan kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi kebun yang dimakan habis  oleh kambing-kambing itu. Ketika dua orang yang berselisih ini melewati Sulaiman setelah keduanya keluar dari majlis pengadilan, Sulaiman tidak sependapat dengan hukum yang telah ditetapkan. Ketika Dawud bertanya tentang keputusannya dalam perkara ini, Sulaiman menyatakan kepadanya agar kambing-kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil susunya, bulunya dan anak-anaknya sesuai dengan hasil kebun yang musnah dilahap oleh kambing-kambing itu. Sementara pemilik kambing diserahi tanah, dia yang mengolahnya hingga kebun itu kembali seperti sedia kala sebelum dimakan  oleh kambing-kambing itu. Jika kebun telah kembali seperti semula, maka ia dikembalikan kepada pemiliknya dan dia boleh meminta kambing-kambingnya. Inilah ringkasan dan perkataan para imam tafsir tentang penafsiran peristiwa yang terjadi  dan disinggung oleh ayat di atas. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah.(Tafsir Ath-Thabari, 17/52. Tafsir Ibnu Katsir, 4/576).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Hafidz Ibnu Asakir menyebutkan tentang biografi Sulaiman bin Dawud sebuah kisah yang panjang dari Ibnu Abbas, yang intinya adalah bahwa ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israil. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat mesum, tetapi wanita ini menolak mereka semua. Mereka sepakat di antara mereka untuk membuat kesaksian palsu atasnya. Maka mereka bersaksi di hadapan Dawud bahwa wanita itu telah berbuat mesum dengan anjingnya yang telah ia latih untuk melakukan itu. Dawud pun memerintahkan agar wanita itu dirajam. Sore hari itu Sulaiman duduk di kelilingi para pembantunya. Dia mendramakannya. Dia duduk sebagai hakim, lalu empat orang pembantunya berpakaian seperti empat orang yang menuduh wanita itu dan seorang lagi berpakaian dengan pakaian. Empat orang bersaksi atas wanita itu bahwa dia telah berbuat mesum dengan anjingnya.
Sulaiman berkata, "Pisahkan mereka?" Sulaiman lalu bertanya kepada yang pertama, "Apa warna anjing itu?" Dia menjawab, "Hitam." Maka dia dipinggirkan. Sulaiman memanggil orang kedua dan menanyakan kepadanya warna anjing itu dan ia menjawab, "Merah." Yang ketiga mengatakan, "Kelabu." Dan yang keempat mengatakan, "Putih."Pada saat itu Sulaiman memerintahkan agar mereka dibunuh.
Hal ini diceritakan kepada Dawud. Dia langsung memanggil empat orang yang bersaksi atas wanita tersebut. Dawud bertanya kepada mereka secara terpisah tentang warna anjing itu. Jawaban mereka berbeda-beda, maka Dawud memerintahkan agar mereka dibunuh. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/578).
Versi  Taurat
Kisah ini terdapat dalam poin (16-28) dalam Ishah ketiga dalam Safar Muluk, yang pertama, nashnya: "Pada saat itu datanglah dua orang wanita pezina kepada raja. Kedunya berdiri di hadapannya. Salah seorang wanita berkata, 'Wahai paduka, dengarkanlah. Aku dan wanita ini tinggal dalam satu rumah. Di rumah itu aku melahirkan anakku. Tiga hari setelah itu wanita ini juga melahirkan. Kami bersama. DI rumah kami tidak ada orang asing selain kami berdua. Kami berdua di rumah. Lalu anak wanita ini mati di waktu malam  karena dia tidur di atasnya. Di tengah malam dia  bangkit dan mengambil anakku dari sisiku, sementara pada saat itu hambamu ini sedang tidur. Lalu dia menaruh anaknya yang telah mati di sisiku dan menaruh anakku di sisinya. Ketika aku bangun di pagi hari untuk menyusui anakku, ternyata dia telah  mati. Aku memperhatikannya di pagi itu, ternyata dia bukanlah anak yang aku lahirkan.' Wanita yang lain menyahut, 'TIdak mungkin. Anakkulah yang hidup dan anakmulah yang mati." Wanita pertama membantah, 'Tidak. Anakmu mati dan anakku hidup.' Keduanya berbantah-bantahan di hadapan raja.
Raja berkata, 'Wanita ini mengatakan anaknya yang hidup dan anakmu yang mati. Wanita itu mengatakan bukan, tetapi anakmu yang mati dan anaknya yang hidup.' Raja meneruskan, 'Bawakan pedang untukku.' Lalu mereka menghadirkan pedang  di hadapan raja. Raja berkata, 'Belahlah anak yang hidup ini menjadi dua. Separuh untuk wanita ini dan separuh untuk wanita itu.' Maka wanita yang anaknya hidup berbicara kepada raja karena dadanya bergolak terhadap anaknya. Dia berkata, 'Dengarkanlah wahai paduka raja, serahkanlah anak ini kepadanya, jangan dia dibunuh.' Wanita yang lain berkata, 'Dia bukan untukmu dan untukku, belahlah dia.' Raja berkata, 'Berikan anak yang hidup ini kepadanya. Jangan bunuh ia karena dia adalah ibunya.' Ketika seluruh Bani Israil mengetahui keputusan yang dikeluarkan oleh raja, mereka takut kepadanya karena mereka melihat hikmah Allah padanya dalam mengambil keputusan." 
Komentar Kita terhadap Versi Taurat
Terdapat kemiripan yang jelas antara versi Taurat dengan kisah di dalam hadis. Hanya saja kisah di dalam Taurat telah tersentuh oleh penyelewengan. Anak itu tidak mati karena ibunya menindihnya di waktu malam, akan tetapi dia mati karena dibawa kabur oleh serigala, dan kelihatannya kedua wanita ini berada di luar desa yang jauh dari penduduk, karena serigala tidak mencuri anak-anak dari rumah-rumah.
Perkara kedua yang diselewengkan adalah klaim Taurat bahwa kisah ini terjadi pada masa raja Sulaiman, setelah wafatnya Dawud. Yang benar adalah bahwa kisah ini terjadi pada zaman Dawud. Dawud telah memberikan keputusannya terlebih dahulu, lalu Sulaiman menyelisihi hukumnya sebagaimana telah dijelaskan.
Yang benar adalah bahwa Sulaiman meminta pisau, bukan pedang sebagaimana disebutkan oleh Taurat. Dan pisau adalah alat yang cocok untuk membelah anak kecil menjadi dua, bukan pedang.
Di antara koreksi hadis terhadap Taurat adalah bahwa Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu sendiri, karena dia belum menjadi raja pada waktu itu. Padahal, Taurat menyatakan bahwa dia memerintahkan prajuritnya agar membelahnya dengan pedang, karena pada waktu dia memutuskan perkara ini dia adalah seorang raja. Dan kalian telah mengetahui kesalahan pendapat ini.
Tidak mungkin kedua wanita itu adalah wanita pezina seperti yang tertulis di dalam Taurat. Buktinya adalah ungkapan ibu anak itu yang menunjukkan kebaikan dan ketaqwaan. Dia berkata kepada Nabiyullah Sulaiman ketika dia hendak membelahnya, "Jangan lakukan itu, semoga Allah merahmatimu. Dia anaknya."
Jika keduanya adalah wanita pezina, apakah Nabiyullah Dawud dan Sulaiman membiarkan keduanya bebas atas perbuatan keduanya? Apakah dia tidak memerintahkan agar keduanya dirajam sebagaimana dia memerintahkan merajam seorang wanita ketika terjadi persekongkolan kesaksian palsu terhadapnya bahwa dia telah berzina?
Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis
1.      Keutamaan Nabi Sulaiman dan keterangan tentang apa yang diberikan oleh Allah berupa kecerdasan dan kemampuan untuk menggali hukum yang benar dalam perkara-perkara sulit yang terjadi pada masanya. Dan dalam hadits shahih disebutkan bahwa Sulaiman berdoa kepada Allah agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum-Nya, maka dia diberi.
2.      Hakim atau pengadil boleh menampakkan kepada orang yang bertikai suatu perbuatan yang (sebenarnya) dia tidak ingin melaksanakannya, sebagaimana Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu menjadi dua, padahal sebenarnya dia tidak menginginkan hal itu. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran. Nasai telah membuat judul untuk hadis ini, "Keluasan bagi Hakim untuk berkata kepada sesuatu yang tidak dilakukannya, 'Lakukanlah'," agar terungkap kebenaran. (Sunan Nasai, 8/236).
3.      Dengan berdalil kepada hadis ini Nasa'I membolehkan seorang  Hakim membatalkan keputusan hakim lain, walaupun dia sama dengannya dalam hal ilmu atau lebih afdhal darinya. Ini mungkin kurang tepat, karena Sulaiman tidak memutuskan dan menetapkan. Dia hanya mengembalikan urusan kepada Dawud, lalu Dawud membatalkan keputusannya sendiri karena masukan dari Sulaiman. Wallahu A'lam.
4.      Berdalil dengan faktor pendukung  dan tanda-tanda untuk mengetahui kebenaran dalam perkara yang diperselisihkan adalah sesuatu yang dianjurkan pada saat tidak adanya dalil.
5.      Kisah ini menunjukkan bahwa hakim yang alim diberi pahala, baik dia benar atau salah. Allah telah menetapkan bahwa Sulaimanlah yang mengerti rahasia keputusan hukum, walaupun demikian Allah tetap memuji Dawud dan Sulaiman, dan tidak mencela Dawud karena dia salah dalam mengambil keputusan, "Maka Kami telah memberkan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat, dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (Al-Anbiya: 79). Dan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam telah secara jelas menyatakan bahwa hakim yang benar keputusannya akan mendapatkan dua pahala. Adapun yang salah, maka cukup satu.
6.      Para nabi memutuskan perkara-perkara yang terjadi pada mereka dengan ijtihad mereka. Oleh karena itu, hukum Dawud dan Sulaiman berbeda. Jika mereka memutuskan dengan wahyu, niscaya mereka tidak berbeda. Oleh sebab itu, Nabi bias jadi memutuskan tidak kepada pemilik hak sebagaimana hal itu telah disebutkan di dalam hadis shahih.
7.      Kecerdikan dan pemahaman tidak berhubungan dengan umur. Si kecil bisa jadi mengerti dan mengetahui apa yang tidak diketahui si besar, sebagaimana Sulaiman (si anak) mengerti apa yang tidak dimengerti oleh Dawud (si bapak). Abdullah bin Umar mengetahui jawaban pertanyaan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, sementara sahabat-sahabat besar tidak memahaminya, padahal di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar.
8.      Koreksi hadis terhadap penyimpangan Taurat menyangkut kisah ini.
 
Sumber: diadaptasi dari DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Shahih Qashashin Nabawi, atau Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa, terj. Izzudin Karimi, Lc. (Pustaka Yassir, 2008), hlm. 179-188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar