Rabu, 27 April 2011

Ratapan Gadis Kecil di Atas Kubur

RATAPAN GADIS KECIL DIATAS KUBUR
Pada waktu Hasan Al-Bashri sedang duduk didepan rumahnya , tiba-tiba lewat beberapa orang sedang mengusung keranda jenazah. Hasan pun segera bergabung dalam iringan itu
Dari belakang iringan itu , tampak seorang gadis kecil sedang berlri lari sambil menangis , menyusul  iringan itu . Ternyata gadis kecil itu anak dari jenazah yang sedang diusung .
" Ayah....." ! mengapa kau begitu cepat meninggalkan aku....! " teriak gadis kecil itu terus menerus hingga selesai pemakaman.
Dengan air mata berderi , gadis kecil itu pun pulang kerumhnya . Timbul perasaan iba pada hati Hasan melihat gadis sekecil itu telah kehilangan kasih sayang dan bimbingan seorang ayah.
Keesokan harinya , tatkala Hasan Al- Bashri sedang duduk di teras rumahnya , gadis kecil itu muncul lagi . Sambil menangis dan berterik , ia menuju makam ayahnya . Hasan mengikuti dari belakangnya, ingin mengetahui apa yang akan diperbuatnya.
Sesampai dimakam ayahnya , gadis kecil itu memeluk makamnya dengan pipi diletakkan diatas gndukan tanah merah sembari meratap . Dari balik persembunyiaanya , Hasan bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh gadis itu.
"Ayah , malam tadi kau terbaring sendirian dalam kubur yang gelap ini. Jika malam sebelumnya aku bisa menyalakanlampu untukmu, tapi siapakah yaang menerangimu sekarang?" Jika malam sebelumnya aku bisa menggelar tikar untuk alas tidur ayah , tapi siapakah sekarang yang menggelarkannya untukmu?" Jika malam sebelumnya aku bisa memijit ayah , tapi siaapakah sekarang yang memijitmu? " ratap gadis kecil itu memilukan.
" Ayah jika malam sebelumnya aku yang menyelimuti tubuhmu , tapi  siapakah yang menyelimutimu tadi malam ? Jika malam sebelumnya , ayah bisa memanggilku dan aku pun menjawabnya, tapi siapakah semalam  yang engkau panggil dan siapa pula yang menjawabmu? Jika sebelumnya ayah minta makan dan memintaku untuk menyiaapkannya , tapi apakah semalam ayah makan dan siapa yang menyiapkannya? " kembali terdengar ratapan gadis kecil itu diantara isakan tangisnya.
Hasan Al -Bashri yang mendenganr ratapan gadis kecil  diatas kuburan itu , tak kuasa menahan air matanya karena trharu . Mka didekatilah gadis itu sembari memberi nasehat.
"Wahai anakku ! Janganlah meratap seperti itu . Seharusnya , Ucapkanlah seperti kata-kataku ini . Ayah......kau  telah kukafani dengan kafan yang bagus , masihkh kau memakainya ?  Kta orang Saleh , kain kafan orang yang meninggal dunia ada yang diganti dengan kain kafan dari surga dan pula yang dari nerka . Manakah diantara kain kafan itu yang ayah kenakan sekarang ?" Kata Hasan menenangkan hati gadis kecil itu.
" Ayah .......Kemarin aku telah meletakkan tubuhmu yang sgar bugar dalam kubur , masih bugarkah tubuh ayah sekarang? Ayah ....., para ulama mengatakan bahwa semua manusia akan ditanya tentang keimanannya. Diantara mereka ada yang bisa menjawab dengan lancar , namun ada pula yang bisu . Apakah ayah bisa menjawb atau hanya membisu ?" Sambung Hasan memberi nasehat.
" Ayah .......,kaanya kuburan itu itu bisa menjadi luas atau bertambah sempit tergantung amalnya sewaktu hidup didunia . Bahkan  , katanya kuburan itu bisa merupakan secuil dari taman syurga ., namun bisa juga merupakan lubang dari neraka . Yang menjadi pikiranku , apakah kuburan ayah sekarang ini bertambah luas atau semakin menyempit , taman syurga ataukah lubang neraka ?" tambah Hasan.
" Ayah.........., katanya liang kubur bisa menghangati mayat sebagaimana pelukan serorang ibu kepada anaknya, tetapi bisa pula seperti lilitan ular yang mermukkan tulang . Bagaimana keadaaan tubuh ayah sekarang ini ? " lanjut Hasan .
" Ayah........., Ktanya orang yang berada  dalam kubur itu ada yang menyesali mengapa sewaktu hidup didunia tak memperbanyak amal sholeh , dan yang menyesali mengapa melakukan maksiat , pertanyaanku , apakah ayah termasuk orang yang menyesali karena perbuatan maksiat atau karena sedikit melakukan amal sholeh ?" imbuh asan.
" Terakhir , Ayah........, dulu setiap aku memanggilmu engkau selalu menjawab , namun kini setiap kupanggil engkau tak pernah menjawab . Kini kita telah berpisah dan tak akan bertemu sampai hari kiamat kelak . Semoga Alloh tak menghalangi perjumpaanku denganmu " bimbing Hasan kepada gadis kecil itu yang sedari tadi senantiasa mendengarkan nasehatnya.
Gadis kecil diam sejenak . Tak lama kemudian ia berkata , " Nasehat Tuan sangat baik sekali , saya sampaikan terima kasih banyak ."
Setelah mengucapkan demikian , gadis kecil itu lalu mendoakan ayahnya. Kmudian Hasan Al - Bashri  mengajak pulang.


(disarikan ---dari jejak para sufi----imam Musbikin--Miftahul Asror ---Mitra Pustaka--Yogjakarta )

disampikan dalam Kultum Ba'da Maghrib
Oleh Ustadz Pardiro As Slemany
di Masjid Al Falaah Kracaan Semin Semin Gunungkidul & Masjd Nurul Mutaqin Munggur semin Gunugkidul

Abu Hanifah menerkam Babi Hutan

 IMAM ABU HANIFAH MENERKAM BABI HUTAN

Pada suatu hari seorang lelaki yang bernama Mulhid dari golongan Dahriyin ( Atheis ) menghadap kepada sykh Hammad bin Abi Sulaiman selaku guru Abu Hanifah R.A. Tiada lain tujuannya adalah mendebat para ulama mengenai keberadaan Tuhan yang tidak bertempat pada suatu tempat , juga tidak bisa diraba dan tidak pula dapat dicerna panca indra. Sudah banyak para ulama yang harus bertekuk lutut dihadapannya , sehingga sikapnya bertambah congkak dan menambah tebal keberaniaannya.
     Siapa lagi yang akan aku habisi pendapatnya di hari ini ? ! " begitu kata Mulhid.
" Masih ada , itulah Syaikh Hammad <" jawab para Ulama yang baru saja dikalahkan.
Denagn langkah mantap akhirnya Mulhid menghadap pada seorang kholifah , agar kiranya Bagind sudi memagil Syaikh Hammad untuk diajak berdialog dengan disaksikan baginda sendiri . Maka Baginda pun mmanggil Syekh Hammad , namun diamasih berjanji bahwa ia akan segera datang pada keesokan harinya . Pagi-pagi sekali dengan tanpa diduga Abu Hanifah datang menemui Syekh Hammad yang dilihatnya dalam keadaaan susah memikirkan jalan keluar terbaik untuk menghadapi penyelewengan Mulhid yang seakan tidak terbendung itu. Hal itu kalau dibiarkan dengan tanpa ada yang bisa menghentikan kebohongannya itu , jelas akan merusak keyakinan masyarakat yang selama ini terkenal relegius. Maka Abu Hanifah segera bertanya kepada Gurunya itu.
"Wahai guru , mengapa hari ini aku melihat guru dalam keadaan begitu cemas , susah , adakah aku bisa membantu apa yang sedang menjadi beban pikiran guru ?" , begitu Abu Hanifah menawarkan bantuan kendati ketika itu dia masih kanak-kanak .
" Wahai muridku , bagaimana aku tidak susah menghadapi sebuah tantangan si Mulhid yang telah berhasil mengalahkan para Ulama yang lain. Malah tadi malam aku bermimpi buruk pula .Jangan -jangan menjadi pertanda kekalahanku", begitu tuur sang  guru mengutarakan keluhanya .
" Mimpi bagaimana wahai guru ?!" desak Abu Hanifah lagi.
Dalam tidur aku melihat sebuah rumah yang cukup luas dengan berbagai hiasan yang indah, didalammnya terlihat ada sebuah poon yang sedang berbuah , namun tiba -tiba saja muncul seekor babi dari pojok rumah itu dan langsung memekan daun -daun dan rantingnya  dilahapnya pula sehingga tinggal batangnya saja. .Anehnya  sejenak kemudian dari batang pohon  itu muncul seekor harimau yang segera menerkam babi tersebut dan melahapnya tiada berbisa , " kata Syaikh Hammad .
"Alhamdulillah aku telah diberi ilmu Alloh sehingga akan bisa menafsirkan mimpi Tuan.Mimpi Guru itu betul-beul akan membawa nasib baik pada diri kita, akan selalu membuat sial musuh. Dengan demikian jika guru membari izin diriku untuk menafsirkannya, akan segera aku tafsirkan. Namun jik Guu berkehendak lain , aku akan selalu menurut apa yang yang menjadi maksud Guru." begitu Abu Hanifah menawarkan dengan penuh sopan santun.
" Cobalah kau tafsirkan , bagimana ta'wil mimpi tersebut." begitu desak sang Guru ,
" Rumah yang luas dengan hiasan yang cantik itu adalah negeri dan agama islam itu sendiri , sedang pohon yang berbuah itu adalah para ulamanya , dan batang yang masih tersisa itu adalah tuan Guru sendiri, sedangkan babi ngepet itu wujud si Mulhid , kemudian harimau yang menerkam  itu,  insya Alloh diri saya sendiri. Langkah lebih lnjut , hendaklah Guru pergi bersama saya, dimana dengan kehadiran dan niat tuan yang tulus , aku akan bertindak melawa dan mendesak si Mulhid ." begitu kata Abu Hanifah.
Mendapat dorongan Abu hanifah seperti itu, Syekh Hammad langsung bangkit semangatnya, kmudian pergi bersama Abu Hanifah menuju masjid Jami'memenuhi undangan Kholoifah untuk membungkam , mulut si Mulhid yang selama ini tidak terkendali. Segera saja Abu Hanifah mmasuki masjid dan mengambil sebuah tempat duduk untuk gurunya, sedangkan di sendiri duduk dibwah seraya mengangkat kedua terompahnya dan kedua terompah gurunya. Masjid itupun lantas dipenuhi oleh hadirin yang akan menyksikan pertandingan akbar antara pihak hak dengan pihak btil, dimana pertarungan ini diwasiti oleh Kholifah , Setelah semuanya dirasakan siap , si Muhid segera naik mimbar seraya mengatakan :
Siapa yang akan menjawab pertanyaanku ? " begitu dia menantng para hadirin .
"Anda jangan menentukan siapa yang akan menjawab, namn dari para hadirin ini jika ada yang menjawab , entah itu anak-anak atau orang tua , dialah yang akan berhadapan d3ngan Anda," begitu Abu Hanifah membalas dengan sengit pula .
" Hai anak kecil ,adakah engkau berani menghadapi aku engan umurmu yang masih bau kunyit itu , padahal telah banyak ulama yang bersorban besar ,berpakaian terhormat dan berlengan komprang harus bertekuk lutut dihadapanku. Kamu sendiri anak kecil dan belum kering dari berkhitan , berani-beraninya berdebat !" begitu Mulhid mulai panas mendengar balasan Abu Hanifah ." Adakah kau sanggup menjawab prsoalan yang aku ajukan, atau  hanya hangat-hangat tahi ayam , ingin sekali-kali mencoba ? " lanjut Mulhid lagi.
" Silahkan bertanya dan aku yang akan sanggup menjawab dengan mendapat pertolongan Alloh , " tantang Abu Hanifah lagi.
"Apakah Tuhan itu ada ? " begitu pertannyaan Mulhid yang pertama dilontarkan .
Betul , benar dan Haqqul yakin , jawab Abu Hanifah tegas .
"Kalau begitu, dimana Dia Sekarang ?" lanjut Mulhid .
"Dia tidak bertempat ," balas Abu Hanifah singkat.
"Bagaimana sesuatu yang wujud namun tidak memerlukan tempat ?" sahut Mulhid lagi.
" Pertannyaan itu sebenarnya telah terjawab dengan yang berada pada tubuhmu sendiri ." sambung Abu hanifah lagi.
" Apa itu ?" lanjut Mulhid pula 
"Apakah pada tubuhmu itu ada nyawanya ( ruh )?"sergah aBU hANIFAF.
"Betul , benar ada , sahut Mulhid pula .
" Dimana ia berada ? Apakah bertempat di kepalamu, atau di perutmu atau dikakimu ? " lanjut Abu HANIFAH LAGI.
Mendapat berondongan pertanyaan itu si Mulhid kebingungan . Kemudian Abu anifah meraih segelas susu yang sejak tadi dihidangkan oleh kerajaan kepada para hadirin , kemudian mengataan , " pakah susu di gelas ini mengandung lemak ? "
" Benar , wahai bocah !" sahut Mulhid kembali
" Kalau demikian dimana letak lemak itu , apakah di bagian atas atau dibagian bawah ? " lanjut Abu Hanifah dengan gerang.
Ternyata si Mulhid kebingungan lagi, seakan tidak mengerti lagi arah utara dan arah selatan. Maka Abu Hanifah pun melanjutkan ucapannya , " Sebagaimana ruh itu tidak diketahui tempatnya , atau lemak pada susu itu juga tidak bisa dimengerti tempatnya ,  demikian pula Alloh tidak akan dapat dientukan tempatnya di jagat raya ini," demikian tutur Abu Hanifah.
"Kalau begitu , Apakah ada barang maujud sebelum  Alloh dan sesudahnya , Hayo ? " begitu lanjut Mulhid yang ternyata langkahnya belum mati. 
' Sebelum Alloh dan sesudahnya tidak ada apa-apa. Apa yang aku katakan ini ada dasarnya . Tiada lain berada pada tubuhmu sendiri ," sahut Abu Hanifah membuat Mulhid terperangah
" Apa itu ?" sergah Mulhid tergesa-gesa.
 Coba buka dan lihat telapak tanganmu. Ada apa sebelum ibu jari dan sesudah kelingking ? " tangis Abu Hanifah lebih lanjut .
" Nggak , tidak ada apa-apa , " jawab Mulhid tampak mulai ngeper.
" Demikian pula sebelum dan sesudah Alloh tidak akan pernah ada apa- apa," tancap Abu Hanifah.
" Masih ada satu persoalan lagi yang perlu kau jawab ," lanjut  Mulhid lagi kendati sudah megap-megap.
" Akan terus aku jawab , Insya Alloh !" begitu sahut Abu Hanifah
" Kalau Alloh itu ada , sekarang sedang mengapa Dia , sedang berbuat apa pula ? " tanya Mulhid.
" Situasi dan kondisi  sekarang ini memang terbalik mestinya orang yang bertanya itu berada di bawah , kalau perlu di deretan kursi berbaur dengan para hadirin . Dan akan lebih layak jika si penjawab berada diatas mimbar ebagai penghormatan . Dengan demikian jika saja kau mau turun dari mimbar , kemudian aku ganti yang naik . aku akan sanggup menjawab pertanyaan yang kau kemukakan itu, " begitu Abu Hanifah melancarkan diplomasinya yang jitu.
Akhirnya si Mulhid pun mnglah turun dari mimbar menuju sebuah kursi , sedangkan Abu Hanifah dengan cepat naik keatas mimbar dan dengan petah mengatakan " Sekarang pertanyaanmu aku jawab , bahwa Alloh sekarang sedang menurunkan martabat si penyandang kebathilan dari atas mimbar menuju kursi di bawah terompahku, kemudian Dia menaikkan martabat si penyandang hak dari tempat bawah menuju pangung kehormatan !"
Mendapat jawaban seperti itu , tepuk tangan para hadirin tidak terbendng lagi mengelu-elukan diplomasi Abu Hanifah . Sedangkan si Mulhid betul-betul tak berdaya.
Demikia semoga bermanfaat.
(disarikan dari kisah-kisah teladan buat anakku--imam Musbikin----Mitra Pustaka ---Jogjakarta )
 

BAHAN MATERI KULTUM  BA'DA MAGHRIB
OLEH  : Ustadz Pardiro As Slemany
 di Masjid Al Falaah Kracaan  Semin Semin Gunungkidul DIY  & Di Masjid Nurul Muttaqin Munggur Semin

Rabu, 20 April 2011

Maksud Pembohong dalam Hadits

Maksud Pembohong dalam Hadits

ASSALAMU`ALAIKUM WR.WB
Langsung saja pada pertanyaannya, apakah makusd dari hadits
"Abu Hurairah Ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda " Cukuplah bagi orang itu disebut pembohong jika ia membicarakan dengan setiap apa yang ia dengar" ( HR. Muslim )"
Mohon penjelasannya. Terima kasih!
Near (masih belajar)
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Near yang dimuliakan Allah swt
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda,”Cukuplah bagi orang itu disebut pembohong apabila dia membicarakan setiap yang dia dengar,” (HR. Muslim)
Imam Nawawi mengatakan sesungguhnya diantara kebiasaan adalah mendengarkan suatu kebenaran dan kebohongan dan apabila seseorang membicarakan setiap yang didengarnya maka sungguh ia adalah pendusta karena menginformasikan sesuatu yang belum terjadi. Dan kebohongan adalah menginfirmasikan tentang sesuatu yang bertentangan dengan yang sebenarnya dan tidak ada persyaratan didalamnya harus dengan sengaja.”
Dan dari al Mugiroh dari Syu’ah berkata,”Nabi saw bersabda,’Sesungguhnya Allah swt telah mengharamkan durhaka terhadap ibu, mengubur bayi perempuan (hidup-hidup), melarang dari meminta sesuatu yang bukan haknya’ dan beliau saw tidak menyukai kalian mengatakan ‘katanya, banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta.” (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat al Muhib ath Thabari tentang makna dari “tidak menyukai kalian mengatakan,’katanya.” Bahwa makna hadits ini mengandung tiga hal :
1. Isyarat akan makruhnya banyak berbicara dikarenakan hal itu membawanya kepada kesalahan.
2. Maksudnya adalah menceritakan dan mencari-cari omongan-omongan orang untuk kemudian dia informasikan, seperti seorang yang mengatakan,”Si A telah mengatakan ini dan ada yang mengatakan dia mengatakan itu.” Larangan di sini bisa berupa teguran dari memperbanyak perbuatan itu atau bisa pula untuk sesuatu tertentu darinya, yaitu ketidaksukaan orang yang diceritakannya.
3. Adapun menceritakan perbedaan didalam permasalahan agama, seperti perkataan,”Si A telah berkata begini, si B telah berkata begitu.” dan yang menjadikannya makruh adalah memperbanyak hal itu. Karena tidaklah aman sesuatu yang terlalu banyak dari suatu kesalahan. Dan ini terhadap orang tertentu yang menginformasikan berita itu tanpa diteliti terlebih dahulu akan tetapi orang itu hanya bersikap taqlid (mengikuti) orang yang didengarnya tanpa adanya kehati-hatian, hal ini dipertegas dengan hadits,”Cukuplah seseorang disebut pembohong apabila menceritakan setiap yang didengarnya.” (HR. Muslim) – (www.islamOnline.net)
Dengan demikian diperlukan kehati-hatian didalam menyampaikan berita atau informasi dari setiap yang didengarnya kepada orang lain sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu akan kebenaran dari berita tersebut.
Informasi yang disampaikan sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu akan menjadikan informasi yang disampaikannya itu mengalami penambahan ataupun pengurangan dari apa yang sebenarnya dia dengar dari sumbernya, dan ini termasuk didalam kebohongan karena dia telah menyampaikan sesuatu yang berbeda dari hakekatnya.
Imam Nawawi mengatakan bahwa seyogyanya setiap orang yang sudah sampai usia taklif menjaga lisannya dari semua perkataan kecuali suatu perkataan yang tampak didalamnya kemaslahatan. Dan kapan saja berbicara sama maslahatnya dengan tidak berbicara maka disunnahkan untuk menahan dari membicarakannya karena hal itu bisa mengarahkan perkataan yang mubah menjadi haram atau makruh dan ini banyak terjadi..
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh dari Nabi saw bersabda,”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata yang baik atau diam.” (Muttafaq Alaih)
Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini secara tegas menyebutkan seyogyanya seseorang tidak berbicara kecuali apabila perkataannya itu adalah kebaikan, yaitu yang tampak didalamnya kemaslahatan dan kapan saja dia meragukan adanya kemaslahatan didalamnya maka hendaklah dia tidak berbicara. (Riyadhus Shalihin hal 445)
Wallahu A’lam

Ahlush shuffah

AHLUSH -SHUFFAH
Dr . Ikhsan Ilahi Dhahir menegaskan tentang keberadaan Ahlu Shuffah , menurutnya ,, Kelompok ini pada awal-awal kemunculannyha berjumlah empat ratus orang . Mereka tidak mempunyi tempat tinggal dan keluarga di Madinah . Mereka bertempat di Masjid Nabawi . Mereka tidak pergi kesawah ( ladang ) tidak punya hewan perah dan perdagangan . Mereka mencari kayu baker dan mennumbuk biji-bijian di siang hari . Pada malam hari mereka sibuk dengan beribadah dan mempelajari Al Qur’an . Rasululloh selalu memberikan bantuan kepada mereka dan menganjurkan kepada kaum muslimin agar membantu mereka . Nabi sendiri bahkan sering duduk dan makan bersama mereka . Tentang mereka , Alloh juga pernah berfirman :

وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِم مِّن شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ ﴿٥٢﴾

“ Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari , sedangkan mereka keridhaan-Nya “

( Q.S . AL AN’AM : 53 )

Dalalm ayat lain Alloh juga berfirman senada :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

“ Dan bersabarlah kamu bersama -sama dengan orang –orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya “

( Q.S AL KAHFI : 28 )

Memulyakan dan Menjamu Tamu

Dan mereka mengutamakan (kawannya) melebihi diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesusahan. (QS Al Hasyr-9)
Riwayat Ad Dailami dari Anas mengatakan, Rasulullah saw bersabda : Apabila ada tamu berkunjung kepada seseorang, maka kunjungan itu membawa rizki dan pulangnya membawa maghfirah (ampunan) atas dosa-dosa mereka.
Riwayat Abu syeikh dari Abu Qurshafah : Apabila Allah menghendaki seseorang menjadi baik, maka Allah menghadiahkan kepadanya berupa kedatangan tamu, yang mana kedatangannya membawa rizkinya dan kembali dengan membawa rizkinya pula dan Allah memberi ampunan kepada penghuni rumah itu.
Riwayat Ibnu Abi Ad Dunya dari Hibban bin Abi Jundah : bahwa shadaqah yang lebih cepat terangkat ke langit, yaitu seseorang yang menyediakan makanan yang bagus kemudian mengundang orang-orang di antara kawannya.
Riwayat Al Hakim dari At Turmudzi dari Aisyah ra : bahwa malaikat tidak henti-hentinya memohonkan rahmat kepada seseorang diantaramu, selama hidangan yang disediakannya masih tersedia.
Riwayat Al Hakim dari Abu Harairah : barangsiapa memberi makan kepada saudaranya yang muslim berupa makanan kesukaannya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka.
Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah : Ada seorang lelaki datang menghadap Nabi Muhammad saw, katanya ; sesungguhnya aku ini orang yang sedang mengalami kesulitan. Maka beliau menyuruh orang itu supaya datang ke rumah salah seorang istrinya. Istri beliau (saw) berkata : Demi dzat yang mengutusmu dengan haq, sesungguhnya aku tidak mempunyai apa-apa kecuali air. Kemudian beliau (saw) mengirim orang itu supaya datang kepada salah seorang istrinya yang lain. Tetapi istri beliau yang lain inipun memberi jawaban yang serupa, hingga semua istri beliau yang dihubungi lelaki itu memberi jawaban yang serupa : Demi dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa selain air. Lalu Nabi saw, bertanya kepada mereka yang hadir : Siapa yang mau menjamu orang ini di malam ini ? salah seorang dari sahabat Anshar menjawab : Aku wahai Rasulullah, yang akan menjamunya. Kemudian leleki itu diajak ke rumahnya. Kata sahabat Anshar itu kepada istrinya : Muliakanlah tamu Rasulullah saw, ini.
Dalam suatu riwayat dijelaskan, ketika sahabat Anshar itu bertanya kepada istrinya : apa kamu masih mempunyai makanan ? Istrinya menjawab : Tidak, kecuali hanya sedikit, hanya cukup untuk satu anak. Sahabat Anshar itu berkata : Kalau begitu aturlah bagaimana sekiranya orang itu tidak mengetahui, ketika telah menghadapi makan malam. Apabila tamu itu telah masuk di ruang makan, maka matikanlah lampunya. Tunjukkanlah seakan-akan kita juga ikut makan. Kemudian sandiwara itupun telah diatur hingga matang. Hingga kketika tamu itu telah duduk menikmati makan malamnya seakan-akan sahabat Anshar tadi ikut menemani makan. Padahal semalaman itu suami istri ini tidak makan.
Tiba waktu pagi, sahabat Anshar tadi berkunjung menghadap Rasulullah saw, maka beliau bersabda : Sungguh Allah kagum menyaksikan sandiwaramu terhadap tamumu semalam. Kemudia turunlah ayat :
Dan mereka mengutamakan (kawannya) melebihi diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesusahan. (QS Al Hasyr-9)
RENUNGAN
Nabi saw, bersabda :
Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalamnya dan bagian dalamnya terlihat dari luarnya. Allah menyiapkan bagi siapa yang berbicara lunak dan memberi makanan serta shalat di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur.
Nabi saw, bersabda :
Janganlah kamu memaksakan diri untuk menghormati tamu sehingga kamu membencinya, karena siapa membenci tamu, maka iapun telah membenci Allah, dan siapa membenci Allah, maka Allah membencinya.
Jakfar bin Muhammad, berkata :
Apabila kelian duduk bersama saudara-saudaramu di hadapan hidangan, maka duduklah yang lama, karena ia adalah saat yang tidak dihitung dari umurmu

Jangan suka berdusta oleh Ustadz Pardiro as Slemany

Syekh Abdul Qodir Al Jailani memberikan sebuah petuah pada hari Jum'at pagi di madrosah pada tangal 7 jumadil Akhir 545 Hijrah , sebagai berikut :

" Jadilah engkau sabagai seorang yang suka berpikir, dan jangan suka berdusta . Engkau bilang , aku takut kepada Alloh sementara sebaenarnya engkau takut kepada selain Alloh. Jangan engkau takut kepada bangsa Jin, manusia atau penguasa . Jangan kamu takut kepada siksa di dunia atau siksa di akhirat. Akan tetapi takutlah kaliah kepada Dzat yang menyiksa dengan suatu siksaan . Seseorang yang berakal , tentu tak akan pernah takut terhahadap celaan seseorang yang mencela  . Dia pasti akan menulikan telinga dari pembikcaraan selain Alloh. Semua makhluk dalam pandangan hamba yang hanya takut kepada Alloh adal;ah identik dengan makhluk yang lemah , sakit dan miskin .

Ya Alloh , sesungguhnya kami memohon kedekatan kepada-Mu tanpa suatu bencana. Lunakkanlah hati kami dalam menyikapi eksekusi dan kepastian- Mu . Lindungilah kami  dari niat jelek orang -orang yang akan  berbuat jelek kepada kami dengan kelalimannya. Kami mohon kepada-Mu maaf dan keselamatan dalam beragama di dunia maupun diakhirat.

Seorang lelaki masuk kedalam rumah  Abu Yazid Al Bustami dengan tanpa permisi . Abu Yazid berkata , ' ada apa ? " Dia menjawab : " aku bermaksud mencari tempat yang bersih untuk melakukan sholat." Abu Yazid berkata kepada seorang lelaki itu ,  " Bersihkan hatimu dan sholatlah ditempat dimanapun engkau berada ."
Sesungguhnhya , tidak ada orang yang mengetahui riya' orang yang ikhlas . Riyau ' , Ujub , bangga diri , dan munafiq merupakan panah -panah setan yang akan dibidikkan kepada hati manusia . Belajarlah kepada seorang guru bagaimana jalan yang telah mereka tempuh untuk sampai kepada Al  Haq . Bertanyalah kepada mereka tentang bagaimana godaan nafsu , tentang godaan ego dan tabiat sebab mereka pernah merasakan  godaannya dan mengetahui tipu dayanya . Dengan begitu engkau akan dapat mengalahkan nafsu , ego dan tabiatmu.
Jangan kamu terpukul dengan panah-panah setan . Ingatlah bahwa setan  dalam bentuk jin tidak akan mampu menghadapimu kecuali dengan merubah wujud menjadi setan dalam bentuk manusia , dalam bentuk nafsu dan dalam bentuyk  teman yang buruk. Merataplah kepada Alloh dan mikkntalah pertolongan kepada-Nya untuk menghadapi musuh-musuh ini.
disarikan dari  Asrifin An Nakhrawie , S.Ag ; Syaikh Abdul Qodir Al Jailani , Perjalan hidup , Karomah & Ajaran Tasauf  ; Galaxy ; Surabaya .

SORGA berada ditelapak kaki IBU

Dipun Riwayataken saking Shohabat Anas bin Malik R.A.  bilih Rasululloh bersabda  :
 " AL JANNATU TAHTA AQDAAMIL UMMAHAATI  " ( HR.ALQUDLA'I LAN AL KHOTIB )
Hadits kasebut ana uga kang diriwayatake dening Imam Muslim saking ANNU"MAN BIN BASYIR .
Pengertian hadits iku kaya kang di ngendikakake  dening ALMANAWI  :
" LUZUUMU THOO'ATIHINNA SABABUN LIDUKHUULIL JANNATI "
artosipun :
Tansah bekti marang ibu-ibu yaiku sebab  mlebune ing dalem suwarga .
kategasaken wonten ing Kitab  Lisanul Arab  Juz - 16 halaman 253 :

Dan sesungguhnya terdapat sebutan tentang sorga didalam kitab suci Alqur'an yang mulia dan hadits yang mulia pada bukan satu temoat saja . Sorga itu negeri kenikmatan dinegeri akhirat , terambil dari kata " Al Ijtinan " dengan arti tertutup, karena gemuk pohon-pohonn ya dan terteduhnya , tersebab jalin menjalin segala dahan-dahannya.
Dan sorga ini , disediakan Alloh bagi hamba-hambanya yang shohih yaitu yang mendirikan haq Alloh , dan mendirikan haq hamba-hamba Alloh.  seperti yang tertegas dalam  hadits qudsi yang ditakhrij oleh Imam Muslim dan lainnya  bahwa Rasululloh SAW BERSABDA :
 telah Berfirman Alloh Azza Wa Jalla  :
a'dadtu li'ibadiyash sholihiina maa laa 'ainun ra-at walaa  udzunun sami'at walaa khothora 'alaa qolbi basyarin
Telah aku sediakan , bagi hamba-hamba-Ku yang sholih , sesuatu yang belum pernah dilihat mata , didengar telinga dan terlintas dilihat manusia.

Mengobati diri sendiri oleh Ustadz Pardiro as Slemany

 Mengobati Diri Sendiri 
Rasululloh SAW  uwis   ngaturake Sabdanipun :
Dho'u yadaka 'alaalladzii ta-allama man jasadika wa qul : Bismillaahi .Stalaastaa , wa qul Sab'a  marrootin  a'uudzubillaahi waqudratihi min syarri maa ajidu wa uhaadziru ( rawahu Muslim )

Letakanlah tanganmu pada anggota tubuhmu yang terasa sakit dan ucapkanlah , "Bismillaah "  tiga kali , dan ucapkanlah do'a ini sebanyak tujuh kali : 
"A'uudzu billaahi wa qudraatihii min syarri maa ajidu wa uhaadziru "
artinya :
"Aku berlindung kepada Alloh dan Kekuasaan-Nya dari kejadian sesuatu yang aku temui dan aku waspadai."
( HR.IMAM MUSLIM 4/1728  fiikitaabi : Ad-Du'a wal 'ilaj minal kitab was -Sunnah   ta'lif : Sa'id Bin 'Ali Wahf Al Qohthaniy )

2.Mengobati Penyakit Dalam dan Terluka

Shohabat Sufyan meriwayatkan ,bahwa apabila ada orang yang mengeluh atau tertimpa penyakit dalam atau luka. Rasululloh SAW  ersabda dengan jari-jari beliau begini .Kemudian Sufyan meletakkan jari telunjuk dibawah tanah , lantas diangkatnya kembali , dan berkata :

"Bismillaahi turbatu ardhinaa biriiqoti ba'dhinaa yusfaa saqiimunaa bi-idzni robbinaa "

( Rowahu Bukhory wa Muslim )

" Dengan menyebut nama Alloh , dengan debutanah  kami dan air liur sebagian dari kami, semoga disembuhkan derita kami dengan seizin Tuhan kami. " *( hadits riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim )

fiikitaabi Fathul Barri : 10/206 , Muslim : 4/1724 no.2194

maksud hadits tersebut adalah Sufyan membasahi jari telunjuk dengan ludahnya , kemudian meletalkan jari telunjuk itu pada debu. Dengan demikian ada sedikit debu yang menempel pada jari tersebut , kemudian  diusapkan pada bagian yang terluka atau terasa sakit, disertai dengan membaca do'a diatas .   ( lihat syarh an- Nawawi terhadap Shohih Muslim 14/184 ,   Fathul bari 10/208 )

Minggu, 17 April 2011

nasikh dan mansukh

Nasikh dan Mansukh
Panduan Hukum (Syariah) Islam : Pengertian Nasikh dan Mansukh
Pengertian nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta 'akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata [Kami tidk menemukan rangkaian kalimat yang sederhana mengenai ini, Admin Rumah Islam]. Pembatalan ini dapat berupa pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.
Berdasarkan pengertian ini, mereka mengartikan pengecualian (istitsna), syarat dan sifat sebagai nasakh, karena hal itu mengandung pembatalan yang zhahir dan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian, nasakh dalam pandangan mereka adalah penjelasan tentang maksud suatu dalil dengan tidak mempergunakan lafazh tersebut, akan tetapi dengan suatu perkara yang di luar itu. Orang yang mengamati pendapat mereka akan melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak terbatas, dan hilanglah macam-macam bentuk (rekaan) yang dituntut oleh karena diartikannya pendapat mereka pada istilah baru yang muncul kemudian.
Menurut Hisyam bin Hasan dari Muhammad bin Sirin bahwa Hudzaifah berkata, "Orang yang memberikan fatwa adalah salah satu dari 3 orang, yaitu:
1. orang yang mengetahui nasikh dan mansukh Al Qur'an,
2. penguasa yang tidak menemukan jalan lain, dan
3. orang bodoh yang mengada-ada. " [kami berpendapat bahwa golongan inilah yang membuat hancur umat islam, Admin Rumah Islam]
Selanjutnya Ibnu Sirin berkata, "Aku bukan salah seorang dari kedua yang pertama, dan aku tidak mengharapkan menjadi orang bodoh yang mengada-ada."
Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan di dalam bukunya Jami ' Fadhl Al Ilm : Khalaf bin Qasim menceritakan kepada kami, Yahya bin Rabi' menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hamad Al Mushishi mengatakan kepada kami, Ibrahim bin Waqid mengatakan kepada kami, Al Muthalib bin Ziyad mengatakan kepada kami, ia berkata, "Ja' far bin Husain (imam kami) menceritakan kepadaku, ia berkata, `Aku melihat Abu Hanifah dalam mimpi, dan aku berkata, 'Aim yang Allah lakukan terhadapmu, wahai Abu Hanifah?' Ia menjawab, 'Dia mengampuniku.' Aku bertanya lagi, Dengan ilmu?' Ia menjawab, `Alangkah berbahayanya fatwa-fatwa itu bagi pemiliknya'. Aku bertanya, `Lalu dengan apa?' Ia menjawab, Dengan perkataan manusia tentang aku yang tidak diketahui Allah bahwa itu adalah dariku."
Abu Umar mengatakan: Abu Utsman Al Haddad berkata, "Seorang hakim lebih mudah berbuat dosa dan lebih dekat pada keselamatan daripada seorang ahli fikih (maksudnya mufti), karena ahli fikih mengeluarkan apa-apa yang dimaksudkannya pada suatu saat dengan keterbatasan perkataannya, sedangkan hakim harus menentukan suatu keputusan dengan ketetapan yang pasti."

Ulama lain berpendapat bahwa seorang mufti lebih dekat pada keselamatan daripada seorang hakim, karena seorang mufti tidak menetapkan fatwanya, tetapi ia menyampaikannya kepada orang yang memerlukannya. Jika ia mau, ia dapat mempergunakannya dan dapat pula meninggalkannya. Sedangkan hakim, ia menetapkan suatu keputusan sehingga keberadaan hakim sama dengan mufti dalam hal menyampaikan suatu hukum. Tetapi, hakim berbeda dengan mufti dalam hal ketetapan atas keputusannya. Dari pandangan ini, keputusan hakim lebih besar bahayanya.

Ref : I'lamul al Muwaqqi'in An Rabb al Alamin (Pedoman Hukum Islam) , Ibnu Qayim al Jauziyah


Pengertian Nasikh dan Mansukh
Panduan Hukum (Syariah) Islam : Pengertian Nasikh dan Mansukh
Pengertian nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan
hukum secara global, dan itu merupakan istilah para
ulama
muta 'akhirin
(belakangan); atau pembatalan
dalalah
(aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata [Kami tidk menemukan rangkaian kalimat yang
sederhana mengenai ini, Admin Rumah Islam]. Pembatalan ini dapat berupa
pengkhususan atau pemberian syarat
tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat,
menafsirkannya dan menjelaskannya.
Berdasarkan pengertian ini, mereka mengartikan
pengecualian
(
istitsna
), syarat dan sifat sebagai nasakh, karena hal itu mengandung pembatalan yang zhahir dan
penjelasan terhadap apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian, nasakh dalam pandangan
mereka adalah penjelasan tentang maksud suatu dalil dengan tidak mempergunakan lafazh
tersebut, akan tetapi dengan suatu perkara yang di luar itu. Orang yang mengamati pendapat
mereka akan melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak terbatas, dan hilanglah macam-macam
bentuk (rekaan) yang dituntut oleh karena diartikannya pendapat mereka pada istilah baru yang
muncul kemudian.
Menurut
Hisyam bin Hasan
dari
Muhammad bin Sirin
bahwa
Hudzaifah
berkata, "Orang yang memberikan fatwa adalah salah satu dari 3 orang, yaitu:
1. orang yang mengetahui nasikh dan mansukh Al Qur'an,
2. penguasa yang tidak menemukan jalan lain, dan
3. orang bodoh yang mengada-ada. " [kami berpendapat bahwa golongan inilah yang
membuat hancur umat islam, Admin Rumah Islam]
Selanjutnya Ibnu Sirin berkata, "Aku bukan salah seorang dari kedua yang pertama, dan aku
tidak mengharapkan menjadi orang bodoh yang mengada-ada."
Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan di dalam bukunya Jami ' Fadhl Al Ilm : Khalaf bin Qasim
menceritakan kepada kami,
Yahya bin Rabi'
menceritakan kepada kami,
Muhammad bin Hamad Al Mushishi
mengatakan kepada kami,
1 / 2
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Ibrahim bin Waqid
mengatakan kepada kami,
Al Muthalib bin Ziyad
mengatakan kepada kami, ia berkata, "
Ja' far bin Husain
(imam kami) menceritakan kepadaku, ia berkata, `Aku melihat
Abu Hanifah
dalam mimpi, dan aku berkata, 'Aim yang Allah lakukan terhadapmu, wahai
Abu Hanifah
?' Ia menjawab, 'Dia mengampuniku.' Aku bertanya lagi, Dengan ilmu?' Ia menjawab, `Alangkah
berbahayanya fatwa-fatwa itu bagi pemiliknya'. Aku bertanya, `Lalu dengan apa?' Ia menjawab,
Dengan perkataan manusia tentang aku yang tidak diketahui Allah bahwa itu adalah dariku."
Abu Umar mengatakan: Abu Utsman Al Haddad berkata, "Seorang hakim lebih mudah berbuat
dosa dan lebih dekat pada keselamatan daripada seorang ahli fikih (maksudnya mufti), karena
ahli fikih mengeluarkan apa-apa yang dimaksudkannya pada suatu saat dengan keterbatasan
perkataannya, sedangkan hakim harus menentukan suatu keputusan dengan ketetapan yang
pasti."
Ulama lain berpendapat bahwa seorang mufti lebih dekat pada keselamatan daripada seorang
hakim, karena seorang mufti tidak menetapkan fatwanya, tetapi ia menyampaikannya kepada
orang yang memerlukannya. Jika ia mau, ia dapat mempergunakannya dan dapat pula
meninggalkannya. Sedangkan hakim, ia menetapkan suatu keputusan sehingga keberadaan
hakim sama dengan mufti dalam hal menyampaikan suatu hukum. Tetapi, hakim berbeda
dengan mufti dalam hal ketetapan atas keputusannya. Dari pandangan ini, keputusan hakim
lebih besar bahayanya.
Ref :
I'lamul al Muwaqqi'in An Rabb al Alamin (Pedoman Hukum Islam)
,
Ibnu Qayim al Jauziyah
2 / 2

Soal Nasikh dan Mansukh
Posted on Juni 26, 2007 by kajianislam
Soal Nasikh dan Mansukh
oleh Dr. M. Quraish Shihab
Seandainya (Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS 4:82).
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.
Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai –memiliki gejala kontradiksi, mereka mengkompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi, den ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.151
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Quran. Karena disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Arti Naskh
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.152
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.153
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya.”154
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.”155
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.156
Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan AlMaraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;
Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka, “ayat” yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi.157 Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.
Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.158
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.159
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.
Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.
Muhammad ‘Abduh –walaupun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat– tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.160
Apa yang dikemukakan oleh ‘Abduh di atas lebih dikuatkan lagi dengan adanya kata “Ruh Al-Quds” yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta’awwudz (a’udzu billah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang “pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)”. Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya “turun” serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).
Kembali kepada ‘Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Siapa yang Berwenang Melakukan Naskh?
Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.
Pengarang buku Manahil Al-’Irfan mengemukakan bahwa Para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidak?161
Menurutnya, Al-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak –walaupun secara teoretis– dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: “Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula.”162 Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah “apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?”
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat –kalau hal tersebut dinamai naskh– bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis “La washiyyata li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat “kewajiban berwasiat” (QS 2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata “sesungguhnya Allah telah memberikan” dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah “pergantian” seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, “apabila Kami mengganti suatu ayat …”, kata “kami” di sini menurut hemat penulis, sebagaimana halnya secara umum kata “Kami” yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.
Catatan kaki
151 Lihat antara lain Al-Fairuzzabadiy dalam Al-Qamus Al-Muhith, Al-Halabiy, Mesir, cet. II, 1952, Jilid I, h. 281. Lihat juga Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, cet. I, jilid III, h. 28.
152 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, Dar Al-Ma’arif, Beirut, 1975, jilid III, h. 108.
153 Abdul ‘Azim Al-Zarqani, Manahil A-’Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir 1980, Jilid II, h. 254.
154 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, Sulaiman Mar’iy, Singapura, t.t.h., jilid I, h. 151.
155 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid I, h. 187.
156 Ibid.
157 Lihat antara lain Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1367 H, cet. III, jilid 1, h. 415-416.
158 Lihat ‘Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 208.
159 Ibid., h. 209.
160 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, op cit., h. 237.
161 ‘Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 237.
162 Al-Syatibi, op cit., h. 105.
Sumber: media.isnet.org
Filed under: Tafsir al-Qur'an
Al-Nasikh wa al-Mansukh
Al-Nasikh wa al-Mansukh
The revelations from Allah as found in the Qur'an touch on a variety of subjects, among them beliefs, history, tales of the prophets, day of judgement, Paradise and Hell, and many others. Particularly important are the ahkam (legal rulings), because they prescribe the manner of legal relationships between people, as Allah wishes them to be observed.
While the basic message of Islam remains always the same, the legal rulings have varied throughout the ages, and many prophets before Muhammad brought particular codes of law (shari'a) for their respective communities.
The Arabic words 'nasikh' and 'mansukh' are both derived from the same root word 'nasakha' which carries meanings such as 'to abolish, to replace, to withdraw, to abrogate'.
The word nasikh (an active participle) means 'the abrogating', while mansukh (passive) means 'the abrogated'. In technical language these terms refer to certain parts of the Qur'anic revelation, which have been 'abrogated' by others. Naturally the abrogated passage is the one called 'mansukh' while the abrogating one is called 'nasikh'.
The Qur'an on Naskh
The principle of naskh (abrogation) is referred to in the Qur'an itself and is not a later historical development:
'None of Our revelations do We abrogate or cause it to be forgotten, but We substitute something better or similar: knowest thou that God has power over all things?' (2: 106). [Some however say that this refers to the revelations before the Qur’an, which have now been substituted by the Qur’an itself. See Mawdudi. The Meaning of the Qur’an, Lahore, 1967, Vol. I, p.102. note 109.]
How it came about
When the message of Islam was presented to the Arabs as something new, and different from their way of life, it was introduced in stages. The Qur'an brought important changes gradually, to allow the people to adjust to the new prescriptions.
Example:
There are three verses in the Qur'an concerning the drinking of wine. Wine drinking was very widespread in pre-Islamic times and, although a social evil, highly esteemed. The three verses which finally led to the prohibition of intoxicating substances were revealed in stages (4: 43, 2: 219; 5: 93-4).
Why it is important
Knowledge of al-nasikh wa al-mansukh is important because it concerns the correct and exact application of the laws of Allah. It is specifically concerned with legal revelations:
· It is one of the important pre-conditions for explanation (tafsir) of the Qur'an.
· It is one of the important pre-conditions for understanding and application of the Islamic law (hukm, shari'a).
· It sheds light on the historical development of the Islamic legal code.
· It helps to understand the immediate meaning of the ayat concerned.
Tafsir (explanation of the Qur'an) or legal ruling is not acceptable from a person who does not have such knowledge.
How do we know it?
As in the field of asbab al-nuzul, the information about al-nasikh wa al-mansukh cannot be accepted upon mere personal opinion, guesswork or hearsay, but must be based on reliable reports, according to the ulum al-hadith, and should go back to the Prophet and his Companions.
The report must also clearly state which part of the revelation is nasikh and which is mansukh.
Some scholars say that there are three ways of knowing about al-nasikh wa al-mansukh:
· Report from the Prophet or Companions.
· Ijma' (consensus of the umma upon what is nasikh and what mansukh).
· Knowledge about which part of the Qur'an preceded another part in the history of revelation. [Qattan, op.cit., p. 199]
Example:
Narrated Mujahid (regarding the verse):
Those of you who die and leave wives behind, they (their wives) shall await (as regards their marriage) for four months and ten days (2: 234).
The widow, according to this verse, was to spend this period of waiting with her husband's family, so Allah revealed: Those of you who die and leave wives (i.e. widows) should bequeath for their wives, a year's maintenance and residence without turning them out, but if they leave (their residence) there is no blame on you for what they do with themselves, provided it is honourable (i.e. Lawful marriage) (2: 240).
So Allah entitled the widow to be bequeathed extra maintenance for seven months and 20 nights and that is the completion of one year. If she wished, she could stay (in her husband's home) according to the will, and she could leave it if she wished, as Allah says: Without turning them out, but if they leave (the residence) there is no blame on you.
So the idea (i.e. four months and ten days) is obligatory for her.
'Ata' said: Ibn 'Abbas said: This verse i.e. the statement of Allah ... without turning one out ... cancelled the obligation of staying for the waiting period in her late husband's house, and she can complete this period wherever she likes.
'Ata' said: If she wished, she could complete her 'idda by staying in her late husband's residence according to the will or leave it according to Allah's statement:
'There is no blame on you for what they do with themselves.'
'Ata' added: Later the regulations of inheritance came and abrogated the order of the dwelling of the widow (in her dead husband's house) so she could complete the 'idda wherever she likes. And it was no longer necessary to provide her with a residence.
Ibn Abbas said: This verse abrogated her (i.e. the widow's) dwelling in her dead husband's house and she could complete the 'idda (i.e. four months and ten days) (wherever she liked, as Allah's statement says: ...'without turning them out ...' [Bukhari, VI, No. 54.]
This report explains clearly which part of the revelation is nasikh and which is mansukh. Mujahid was one of the well-known tab'iun and Ibn 'Abbas was a Companion of the Prophet.
What is Abrogated?
According to some scholars the Qur'an abrogates only the Qur'an. They base their view on suras 2: 106 and 16: 101. According to them the Qur'an does not abrogate the sunna nor does the sunna abrogate the Qur'an. This is, in particular, the view held by Shafi'i. [For details see Kitab al-risala, Cairo, n.d., pp.30-73; English translation by M. Khadduri, op.cit., pp. 12345; for a brief summary of Ash-Shafi'i's views see also Seeman, K., Ash-Shafi'is Risala, Lahore, 1961, pp.53-85.]
Others are of the opinion that the Qur'an may abrogate the Qur'an as well as the sunna. They base their view on Sura 53: 34.
There is also the view that there are four classes of naskh:
· Qur'an abrogates Qur'an.
· Qur'an abrogates sunna.
· Sunna abrogates Qur'an.
· Sunna abrogates sunna. [Qattan, op.cit, pp. 201-2.]
In this discussion, we shall only consider the abrogation in the Qur'an, and leave aside the abrogation in the sunna.
Three Kinds of Naskh in the Qur'an [Ibn Salama, al-nasikh wa al-mansukh, Cairo, 1966, p.5.]
The scholars have divided abrogation into three kinds:
· Abrogation of the recited (verse) together with the legal ruling.
· Abrogation of the legal ruling without the recited (verse).
· Abrogation of the recited (verse) without the legal ruling.
Examples:
For abrogation of the recited (verse) together with its legal ruling:
'A'isha (Allah be pleased with her) reported that it had been revealed in the Holy Qur'an that ten clear sucklings make the marriage unlawful, then it was abrogated (and substituted) by five sucklings and Allah's apostle (may peace be upon him) died and it was before that time (found) in the Holy Qur'an (and recited by the Muslims). [34 Muslim, II, No. 3421.]
For abrogation of a legal ruling without the recited (verse):
'O Prophet! We have made lawful to thee thy wives to whom thou has paid their dowers; and those whom thy right hand possesses out of the prisoners of war whom God has assigned to thee; and daughters of thy paternal uncles and aunts and daughters of thy maternal uncles and aunts, who migrated (from Makka) with thee; and any believing woman who dedicates her soul to the Prophet if the Prophet wishes to wed her; - this only for thee and not for the believers (at large);We know what we have appointed for them as to their wives and the captives whom their right hands possess; - in order that there should be no difficulty for thee and God is oft-forgiving, most merciful' (33: 50).
'It is not lawful for thee (to marry more) women after this, nor to change them for (other) wives, even though their beauty attract thee, except any thy right hand should possess (as handmaidens); and God doth watch over all things' (33: 52).
This is one of the few very clear examples of naskh, though only concerning the Prophet specifically, since for Muslims in general the number of wives has been restricted to four. (Sura 4:3).
For abrogation of the recited (verse) without the legal ruling:
'Abdullah bin 'Abbas reported that 'Umar bin Khattab sat on the pulpit of Allah's messenger (may peace be upon him) and said: Verily Allah sent Muhammad (may peace be upon him) with truth and he sent down the book upon him, and the verse of stoning was included in what was sent down to him. We recited it, retained it in our memory and understood it. Allah's messenger (may peace be upon him) awarded the punishment of stoning to death (to the married adulterer and adulteress) and after him, we also awarded the punishment of stoning. I am afraid that with the lapse of time, the people (may forget it) and may say: We do not find the punishment of stoning in the book of Allah, and thus go astray by abandoning this duty prescribed by Allah. Stoning is a duty laid down in Allah's book for married men and women who commit adultery when proof is established, or if there is pregnancy or a confession. [Muslim, III, No. 4194; Bukhari, VIII, No. 816.]
The punishment of stoning for adultery by married people has been retained in the sunna, while it is not included in the Qur'an .
The Abrogated Verses
There are, according to Ibn Salama, [Op cit., see pp.6-8 for the names of these suras.] a well-known author on the subject:
· 43 suras with neither nasikh or mansukh.
· 6 suras with nasikh but no mansukh.
· 40 suras with mansukh but no nasikh.
· 25 suras with both nasikh and mansukh.
According to Suyuti's Itqan there are 21 instances in the Qur'an, where a revelation has been abrogated by another.
He also indicates that there is a difference of opinion about some of these: e.g. 4: 8, 24: 58, etc. [Itqan, II, pp.20-3; Kamal, op.cit., pp.101-9 also gives Suyuti's complete list.]
Some scholars have attempted to reduce the number of abrogations in the Qur'an even further, by explaining the relationships between the verses in some special ways, e.g. by pointing out that no legal abrogation is involved, or that for certain reasons the naskh is not genuine
Shah Waliullah (d. 1759) the great Muslim scholar from India only retained the following 5 out of Suyuti's 21 cases as genuine:
Mansukh 2: 180 nasikh 4: 11, 12
Mansukh 2:240 nasikh 2: 234.
Mansukh 8:65 nasikh 8: 62.
Mansukh 30:50 nasikh 33: 52.
Mansukh 58: 12 nasikh 58: 13.
Example:
A case listed by Suyuti, which has no direct legal implication is the following:
Narrated Ibn 'Abbas: When the verse: 'If there are 20 amongst you, patient and persevering, they will overcome two hundred', was revealed, it became hard on the Muslims, when it became compulsory that one Muslim ought not to flee before 10 (non-Muslims) so Allah lightened the order by revealing: 'but now Allah has lightened your (task) for He knows that there is weakness in you. But (even so) if there are 100 amongst you who are patient and persevering, they will overcome 200 (non-Muslims)' (8: 66).
So when Allah reduced the number of enemies that Muslims should withstand, their patience and perseverence against the enemy decreased as much as their task was lightened for them. [Bukhari, VI, No.176.]
Still others hold that there are no genuine (sahih) reports available on this issue, going back to the Prophet, while those going back to the Companions contradict each other. [Ali, M.M.: The Religion of Islam, Lahore, 1936, p.32. It may be pointed out that Ali's treatment of the subject is not very thorough. Of the three examp1es he cites in support of his opinion ('in most cases, where a report is traceable to one Companion who held a certain verse to have been abrogated, there is another report traceable to another Companion, through the fact that the verse was not abrogated' - p. 33) two are definitely not in his favour, while the third can be easily explained. His first case concerns Sura 2:180 (inheritance). It has certainly been superseded by other verses, e.g. 4:7-9 and that is probably all that is meant, when saying it is mansukh Ali's second case, '2:184, is considered by Ibn 'Umar as having been abrogated while Ibn 'Abbas says it was not' . See below, where I have quoted this very hadith from Ibn 'Abbas (Bukhari, VI, No.32) where Ibn 'Abbas himself explains why he does not hold it as abrogated. The third case is, like the first one, definitely not in support of Ali: '2: 240 was abrogated according to Ibn Zubair, while Mujahid says it was not'. This is wrong, see Sahih Bukhari, VI, Nos. 53 and 54, where both Ibn Zubair and Mujahid hold the verse to be abrogated. Furthermore both Ibn Zubair and Mujahid are tabi'un, and not Companions (sahaba).]
Therefore to them the issue of nasikh wa al mansukh is perhaps not of great importance. However, it is clear from the Qur'an itself, (e.g. in the case of inheritance, 2: 180; 4: 7-9, etc.) that abrogation occurred occasionally. Hence it is wrong to completely ignore the subject.
Abrogation and Specification
There is of course a difference between abrogation and specification. By the latter is meant that one revelation explains in more detail or according to specific circumstances how another revelation should be understood.
Example:
Sura 2:183 says 'O you who believe, fasting is prescribed to you ...'
Narrated 'Ata' that he heard Ibn 'Abbas reciting the Divine verse 'for those who can do it is a ransom, the feeding of one that is indigent' (2:184).
Ibn 'Abbas said 'This verse is not abrogated but it is meant for old men and old women who have no strength to fast, so they should feed one poor person for each day of fasting (instead of fasting). [Bukhari, VI, No. 32.]
It is quite clear that the second verse (2:184) does not abrogate the rule of fasting from the first verse (2:183) but explains that in a specific case, that of feeble old people, there is a way of making up for the loss of fast.
In the same way the verses concerning intoxicating drinks can be understood as specifications rather than abrogations (see 4:43;2:219;5:93-4).
Summary
The Qur'an, in 2:106, refers to the concept of naskh. However, there is a difference of opinion about the extent to which al-nasikh wa-al mansukh does in fact occur in the text of the Qur'an. The information concerning al-nasikh wa-al mansukh must be treated with great caution as, for all reports concerning the text of the Qur'an, two independent witnesses are required. Many of the examples which the scholars have drawn upon to illustrate this question (and I have quoted them for the same purpose) are based on one witness only. 'A'isha alone reported that 10 or 5 sucklings had been part of the Qur'anic recitation, and only 'Umar reported that the 'verse of stoning' had been included in the Qur'anic text. These legal rulings are not included in the Qur'an precisely because they were not considered reliable, being based on one witness only. Similarly, other examples about naskh, based on the words of Ibn 'Abbas or Mujahid alone, are to be judged by the same measure.
However, as mentioned there remain a small number of verses which, as far as can be ascertained from the internal evidence of the Qur'an, have been superseded by other verses in the Qur'an.


Nasikh Mansukh
Written by Arief
Tuesday, 12 August 2008 05:13
Yang di maksud dengan Nasikh Mansukh ialah Ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadist yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadist yang datang terlebih dahulu, ada juga yang memberi Pengertian(ta'rif) ilmu nasikh mansukh sebagai berikut :"Ilmu yang menerangkan hadist-hadist yang sudah di mansukhkan dan yang menasikhkanya".Para Muhaddisin memberikan penjelasan tentang nasikh Mansukh secara lengkap yaitu:"Ilmu yang membahas hadist-hadist yang serting berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hokum yang terdapat pada sebagianya,karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hokum yang terdapat pada sebagian lainya,karena ia sebagai mansukh(yang dihapus).karena itu yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadist yang terakhir adalah sebagai nasikh".SEJARAH PERKEMBANGANSebenarya Ilmu Nasikh Mansukh itu sudah ada sejak pendiwanan(kodifikasi) pada awal abad pertama,akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kehadiranya sebagai ilmu di promotori oleh Qatadah bin Di"amar As-sudusi (61-118 H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul "An-nasikh wal-mansukh", Namun sangat disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita manfaatkan ,lantaran tiada sampai hidup kita.Urgensi dari pada ilmu ini adalah :1. Mengetahui Ilmu Nasikh Mansukh adalah tertmasuk kewjiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syari"at. Karena seorang pembahas syari"at tidak akan dapat memetik hokum dari dalil-dalil naskh (hadits), tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang sudah di nasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya. 2. Memahami khitob hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil nash (hadits) yang tidak jelas penunjukanya. Diantara jalan untuk mentahqiq (mempositipkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat ialah dengan mengetahui mana hadits yang terdahulu dan mana pula hadits yang terkemudian dan lain sebagainya dari segi makna.3. Ilmu nasikh mansukh ini bermanfaat untuk pengamalan hadits,Apabila ada dua hadits maqbul (Diterima) yang tanaaqud (bertentangan) yang tidak dapat dikompromikan atau dijama" (di kumpulkan). Apabila dapat di kompromikan,hanya sampai pada tingkat Mukhtalif Al-hadits,maka kedua hadits tersebut dapat diamalkan. Namun jika tidak bisa dijama" (Di kompromikan), maka hadits maqbul yang tanaaqud tadi di tarih atau di nasakh.KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS1. Tajrid al-ahadits al-mansukha, Ibnu al Jazuli.2. Al- I'tibar fii an-nasikh wa al-mansukh min al-atsar, Muhammad bin Musa Al-Hazimi.3. Nasikhul hadits wa mansukhuhu, Al-hafidz Abubakar Ahmad bin Muhammad Al- Atsrom (261 H.)4. Nasikhul hadits wa mansukhuhu, Abu Hafsin bin Ahmad al-bahgdadi.
“Adakah Ayat Al-Quran atau Hadits yang Dinasakh?” ketegori Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Apakah ada di dalam al-Quran atau Hadits nasikh mansukh?
Ahmad Musa
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Nasakh secara bahasa maknanya adalah izaalah yaitu menghilangkan. Dan penerapannya pada memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangakn makna nasakh secara istilah adalah mengangkat hukum syari dengan dengan khitab syari.
Namun untuk bisa dibenarkan adanya nasakh, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
· Bahwa hukum perkara yang dinasakh adalah hukum syar’i.
· Bahwa hukum yang menasakh datangnya lebih akhir dari yang dinasakh.
Penentang dan Pendukung Nasakh
Namun tentang keberadaan masalah nasakh ini terus terang bukan sesuatu yang secara bulat diterima. Ada sebagian kalangan yang tidak menerima adanya masalah nasakh ini. Di samping pendapat umumnya ulama yang menerima keberadaannya.
a. Mereka yang Menentang Adanya Nasakh
Mereka yang menentang adanya nasakh dalam ayat-ayat Allah SWT adalah kalangan Yahudi, di mana mereka dahulu pun pernah menerima kitab dari Allah SWT. Dasar pertimbangan mereka adalah semata-mata logika, yaitu bila Allah SWT mengganti hukumnya, maka hal itu menunjukkan bahw Allah SWT itu tidak Mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Dan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Padahal di dalam Taurat mereka pun ada juga kasus nasakh yang pada dasarnya sudah mereka terima tanpa sadar. Misalnya Taurat mengakui bahwa dahulu Allah SWT membolehkan kepada umat nabi Adam as untuk menikah dengan saudara kandung, lalu pada syariat mereka hal itu dirubah dan dihapuskan. Juga diharamkannya banyak jenis binatang dalam syariat mereka setelah sebelumnya dihalalkan.
b. Berlebihan dalam Menerapkan Nasakh
Dan berseberangan dengan Yahudi ada kelompok Rawafidh yang merupakan pecahan dari kelompok Syiah, yang justru berlebihan dalam mengaplikasikan nasakh, hingga sampai batas menerima logika bahwa Allah SWT itu tidak mengerti dan tidak tahu apa yang akan terjadi.
c. Yang Menerima Adanya Nasakh dengan Terbatas
Para ulama dari kalangan jumhur sepakat bahwa dalam wahyu Allah SWT adalah nasakh dan mansukh. Keberadaannya adalah kehendak Allah SWT dan sama sekali bukan mencerminkan ketidak-tahuan Allah SWT atas apa yang akan terjadi. Dan merupakan hak Allah SWT untuk mengubah perintah-Nya sendiri, membatalkannya atau menambahkannya kepada hamba-Nya. Justru adanya nasakh dan mansukh itu menunjukkan kekuasan-Nya dan Kemahakuasaan-Nya. Sama sekali tidak ada yang kurang dan hina dari apa yang Dia lakukan.
Selain itu, adanya perubahan atas ayat Allah SWT dan perubahan hukumnya memang telah ditegaskan di dalam Al-Quran Al-Karim:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Adalagi orang yang menerima nasakh tapi dengan membedakan rinciannya. Yaitu Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang mufassir Al-Quran Al-Karim dan juga penganut paham mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa nasakh itu secara logika bisa diterima tapi secara syariat tidak bisa.
Namun yang paling kuat dan paling rajih adalah pendapat dari jumhur ulama bahwa nasakh itu memang ada dan sama sekali tidak mengurangi Keagungan Allah SWT. Namun untuk bisa menetapkan sebuah ayat atau hadits itu dinasakh atau tidak, harus ada dalil landasan dan keterangan yang kuat.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber Adakah Ayat Al-Quran atau Hadits yang Dinasakh? : http://assunnah.or.id

I.4. NASIKH MANSUKH DALAM AL-QUR'AN (1/2)
oleh KH Ali Yafie

Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh.
Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing
saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha.
[1] Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian.
Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas
bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi
ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui
maksudnya. [2]

Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian
hunna umm al-kitab [3] yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa
harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan
berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi
interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut
maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini untuk menjamin
kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan
teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi
dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah
unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."

Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang
mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para
mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap
pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang
menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah
nasikh-mansukh. Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk
kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan,
jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan
penggunaan dan hikmah kegunaannya.

ASAS

Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti
saling bertentangan. [4] Ungkapan ini sangat penting dalam
rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta
ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci
yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114
kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan
persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat,
sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi
luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang
disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya
ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait
satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.

Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak
mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat
yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu
ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada
kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode
penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap
bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan.
Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian
merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh
merupakan salah satu bagiannya. [5]

PENGERTIAN

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi,
kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan,
penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim,
pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan. [6]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi
pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara
ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut
pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.

Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i
yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum
yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya,
atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan
berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut
tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup
pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas
(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan
(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan
juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula
pengertian syarat dan sifatnya.

Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan
pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara
nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,
sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan
hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan
ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah,
di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian. [7]

JENIS-JENIS NASKH

Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini
ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at
lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara
syari'at Nabi Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi
yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita
katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena
syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan
semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.

Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan
salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari
segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya
pengertian suatu pemerintahan/negara dengan pemerintahan/
negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/negara
kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional
Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum
dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan
kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan
tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan
pemerintah/negara baru itu.

Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar
syari'at, apakah didalam satu syari'at terjadi juga
nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang
lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita
akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban
atas masalah ini.

1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke
arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah
menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait
al-Haram. [8] Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum
kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula
tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga
berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut
bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula
kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai
contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi
seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun. [9] Beberapa waktu
kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa
tenggangnya 4 bulan 10 hari. [10] Di bidang lain ada pula
perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum
pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.

Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan,
memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern
dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah
berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya
dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini,
jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal
yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang
atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak
berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan
undang-undang atau peraturan lain.

Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah
soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya
nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum
dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan
hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak
diperselisihkan lagi. Demikian pula adanya nasikh-mansukh
antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam soal
yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan
lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang
memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang
juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan
satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang
menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah
adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan
Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan masing-masing pihak,
mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama
terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing
tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam
syari'at itu sendiri.
(bersambung 2/2)

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174




I.4. NASIKH MANSUKH DALAM AL-QUR'AN (2/2)
oleh KH Ali Yafie

Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam
kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus
sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur
dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran
seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu
peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum
lainnya yang lebih rendah tingkatannya. Demikian pula
lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor
pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang
perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka
tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada
syari'at.

Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi
formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada
yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni).
Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan
mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh
(pengganti) ditetapkan secara jelas. [12] Ini contoh dari
al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum
ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku
melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang
lakukanlah!". [12] Berbeda dengan hal tersebut diatas,
nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan
didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut,
tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan
dalam hukum syari'at.

KEDUDUKAN NASKH

Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia
merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan
Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan
techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam
kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat
tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf)
atau menjelaskan (bayan). [13] Ungkapan Imam Subki ini dapat
dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh
yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya
maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih
menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya
suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu
interpretasi hukum.

HIRARKI PENGGUNAAN NASKH

Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati
urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari'at? Dalam
upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at,
baik al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum itu
harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya
kepastian hukumnya terjamin. Semua segi yang dapat
memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu
harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi
bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan
hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini
harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam')
atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya
jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah
baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.

Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata
kontradiksi antara dua ketentuan hukum itu juga sudah
teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan
adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut.
Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua
ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat
dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka
setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari
suatu upaya interpretasi. [14]

Kawasan Penggunaan Naskh

Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana
jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam
syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini
Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif
(beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak
mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni
mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut
perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena
mustahil Allah berdusta. [16] Sejalan dengan ini Imam
Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara
ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau
sebaliknya, itu semua hanya menyangkut perintah dan
larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi
nasikh-mansukh.

Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh
adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut
perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum.
Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu Hukum
dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya
Undangundang Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau
pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan
hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya
hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan,
kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah
kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:

1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam
formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu
berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai
kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya,
seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta
kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan
kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk
mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada
sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.

HIKMAH ADANYA NASKH

Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin
dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.
Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an
sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, [17]
khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi
berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses
tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah
dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah
Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama. Jika engkau melayangkan
pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan
mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang
alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun
spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur
sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah
menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa,
kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran
(keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu
berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang
terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya,
mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan proses
pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih
tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat
bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang
masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang
hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan
dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran
seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat,
maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah
swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada
suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu,
manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut
sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian
di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau disempurnakan
hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia
dengan alasan kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama
lain yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga
sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali? [18]

Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah
yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui
sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan
adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan di akhirat.

CATATAN

1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
2. Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim
3. QS. Ali 'Imran: 7
4. QS. Al-Nisa: 82
5. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
6. Al-Thusi, Uddat al-Ushul
7. 'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
8. QS. Al-Baqarah: 114
9. QS. Al-Baqarah: 240
10. QS. Al-Baqarah: 234
11. QS. Al-Baqarah: 142
12. Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih
13. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'
14. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
15. Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami
16. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan
17. QS. Al-Furqan: 32
18. Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Nasikh dan Mansukh
Mengetahui nasikh dan mansukh juga akan membantu seseorang dalam memahami isi al Qur’an. Dalil adanya nasikh dan mansukh adalah firman Allah Ta’ala,

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan ayat yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya” (QS. Al Baqarah : 106)

Nasikh adalah menghapus hukum dan mengantikannya dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Hukum yang diangkat dinamakan mansukh. Penghapusan suatu hukum dengan hukum lain dinamakan naskh.

Diantara contoh naskh :

(1) Firman Allah Ta’ala,

“Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu. Kemudian apabila mereka memberi persaksian, maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka” (QS. An Nisaa’ : 15 – 16)

Kedua ayat di atas dinasakh oleh ayat yang menerangkan hukuman dera bagi seorang gadis yang berzina, yaitu :

“Perempuan yang berzina dan laki–laki yang berzina maka deralah masing–masing seratus kali dera” (QS. An Nur : 2)

(2) Firman Allah Ta’ala,

“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (QS. Al Anfal : 65)

Ayat di atas dinasakh oleh firman Allah Ta’ala,

“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang” (QS. Al Anfal : 66)

Maraji’:

Bagaimana Memahami al Qur’an, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu*, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, Cetakan Kedua, April 2006.

Semoga Bermanfaat.

$ الناسخ والمنسوخ في القرآن الكريم $ لابن حزم الأندلسي
$ بسم الله الرحمن الرحيم # قال الشيخ الإمام العالم جامع الفنون أبو عبد الله محمد بن حزم رحمه الله # الحمد لله العزيز الجبار الملك القهار العظيم الغفار الحليم الستار وصلاته وسلامه على نبيه محمد نور الأنوار وقائد الغر المحجلين إلى دار القرار وعلى آله الأخيار وصحبه الأبرار # ثم أعلم أن هذا الفن من العلم من تتمات الاجتهاد إذ الركن الأعظم في باب الاجتهاد معرفة النقل ومن فوائد النقل معرفة الناسخ والمنسوخ إذ الخطب في ظواهر الأخبار يسير وتحمل كلفها غير عسير وإنما الإشكال في كيفية استنباط الأحكام من خفايا النصوص ومن التحقيق فيها معرفة أول الأمرين وآخرهما إلى غير ذلك من المعاني & باب # عن أبي عبد الرحمن قال مر علي رضي الله عنه على قاض فقال له أتعرف الناسخ من والمنسوخ قال لا قال هلكت وأهلكت # وعن سعيد بن أبي الحسن أنه لقي أبا يحيى المعرف فقال له أعرفوني أعرفوني يا سعيد أني أنا هو قال ما عرفت أنك هو قال فإني أنا هو مر بي علي رضي الله عنه وأنا أقض بالكوفة فقال لي من أنت فقلت أنا أبو يحيى فقال لست
بأبي يحيى ولكنك تقول أعرفوني أعرفوني ثم قال هل علمت بالناسخ من المنسوخ قلت لا قال هلكت وأهلكت فما عدت بعد ذلك أقض على أحد أنافعك ذلك يا سعيد # عن أبي جرير قال سئل حذيفة عن شئ فقال إنما يفتي أحد ثلاثة من عرف الناسخ والمنسوخ قالوا ومن يعرف ذلك قال عمر أو سلطان فلا يجد من ذلك بدا أو رجل متكلف # عن الضحاك بن مزاحم قال مر ابن عباس رضي الله عنهما بقاض يقضي فركضه برجله قال أتدري ما الناسخ من المنسوخ قال ومن يعرف الناسخ من المنسوخ قال وما تدري ما الناسخ من المنسوخ قال لا قال هلكت وأهلكت والآثار في هذا الباب تكثر جدا وإنما أوردنا نبذة قليلة ليعلم منها شدة اعتناء الصحابة رضي الله عنهم بالناسخ والمنسوخ في كتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ شأنها واحد # عن المقداد بن معد يكرب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ألا إني أوتيت الكتاب ومثله معه ثلاثا ألا يوشك رجل يجلس على أريكته أي على سريره يقول عليكم بهذا القرآن فما وجدتم فيه من حلال فأحلوه وما وجدتم فيه من حرام فحرموه # وقبل الشروع في المقصود لا بد من ذكر مقدمة تكون مدخلا إلى معرفة المطلوب يذكر فيها حقيقة النسخ ولوازمه وتوابعه # اعلم أن النسخ له اشتقاق عند أرباب اللسان وحد عند أصحاب المعاني وشرائط عند العالمين بالأحكام أما أصله فالنسخ في اللغة عبارة عن إبطال شئ وإقامة آخر مقامة وقال أبو حاتم الأصل في النسخ هو أن يحول العسل في خلية والنحل في أخرى ومنه نسخ الكتاب # وفي الحديث ما من نبوة إلا وتنسخها فترة ثم إن النسخ في اللغة موضوع بإزاء معنين أحدهما الزوال على جهة الانعدام والثاني على جهة الانتقال
# أما النسخ بمعنى الإزالة فهو أيضا على نسخ إلى بدل نحو قولهم نسخ الشيب الشباب ونسخت الشمس الظل أي أذهبته وحلت محله ونسخ إلى غير بدل ورفع الحكم وإبطاله من غير أن يقيم له بدلا يقال نسخت الريح الديار أي أبطلتها وأزالتها وأما النسخ بمعنى النقل فهو من قولك نسخت الكتاب ما فيه وليس المراد به إعدام ما فيه ومنه قوله تعالى !< إنا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون >! 29 مكية 45 الجاثية يريد نقله إلى الصحف أو من الصحف إلى غيرها غير أن المعروف من النسخ في القرآن هو إبطال الحكم مع إثبات الخط وكذلك هو في السنة أو في الكتاب أن تكون الآية الناسخة والمنسوخة ثابتتين في التلاوة إلا أن المنسوخة لا يعمل بها مثل عدة المتوفى عنها زوجها كانت سنة لقوله !< يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا >! 234 مدنية 2 البقرة # وأما حده فمنهم من قال أنه بيان انتهاء مدة العبادة وقيل انقضاء العبادة التي ظاهرها الدوام وقال بعضهم أنه رفع الحكم بعد ثبوته # وأما شرائطه فمدارك معرفتها محصورة # منها أن يكون النسخ بخطاب لأنه بموت المكلف ينقطع الحكم والموت مزيل للحكم لا ناسخ له # ومنها أن يكون المنسوخ أيضا حكما شرعيا لأن الأمور العقلية التي مسندها البراءة الأهلية لم تنسخ وإنما ارتفعت بإيجاب العبادات # ومنها أن لا يكون الحكم السابق مقيد بزمان مخصوص نحو قوله عليه الصلاة والسلام لا صلاة في الصبح حتى تطلع الشمس ولا صلاة بعد العصر حتى تغرب الشمس فإن الوقت الذي يجوز فيه أداء النوافل التي لا سبب لها مؤقتة فلا يكون نهيه عن هذه النوافل في الوقت المخصوص لما قبل ذلك من الجواز لأن التوقيت يمنع النسخ # ومنها أن يكون الناسخ متراخيا عن المنسوخ وبيان النسخ منتهى
الحكم لتبدل المصلحة على اختلاف الأزمنة كالطبيب ينهي عن الشيء في الصيف ثم يأمر به في الشتاء وذلك كالتوجه إلى بيت المقدس بمكة وهو اختيار اليهود وكإيجاب التصدق بالفضل عن الحاجة في الابتداء لنشاط القوم في الصفاء والوفاء وكتقدير الواجب بربع العشر الفاضل إلى الانتهاء تيسيرا للا داء وصيانة لأهل النسخ من الاباء $ فصل # أنكر اليهود النسخ وقالوا إنه يؤذن بالغلط والبراء وهم قد غلطوا لأن النسخ رفع عبادة قد علم الآمر أن بها خيرا ثم أن للتكليف بها غاية ينتهي إليها ثم يرفع الإيجاب والبراء هو الانتقال عن المأمور به بأمر حادث لا يعلم سابق ولا يمنع جواز النسخ عقلا لوجهين # أحدهما لأن للآمر أن يأمر بما شاء # وثانيهما أن النفس إذا مرنت على أمر ألفته فإذا نقلت عنه إلى غيره شق عليها لمكان الاعتياد المألوف فظهر منها بإذعان إلإنقياد لطاعة الأمر وقد وقع النسخ شرعا لأنه ثبت أن من دين آدم عليه السلام في طائفة من أولاده جواز نكاح الأخوات وذوات المحارم والعمل في يوم السبت ثم نسخ ذلك في شريعة الإسلام $ فصل # والنسخ إنما يقع في الأمر والنهي ولا يجوز أن يقع في الأخبار المحضة والاستثناء ليس بنسخ إنما يقع في الأمر من بعد بخلاف وقوع النسخ في الخبر المحصن وسمى بعضهم الاستثناء والتخصيص نسخا والفقهاء على خلاف ذلك
$ فصل # وهو على ثلاثة أنواع # نسخ الخط والحكم # عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال كنا نقرأ سورة تعدل سورة التوبة ما احفظ منها إلا هذه الآية ?< لو كان لابن آدم واديان من ذهب لابتغى إليهما ثالثا ولو أن لهما ثالثا لابتغى إليه رابعا ولا يملأ جوف ابن آدم إلا التراب ويتوب الله على من تاب >? # والثاني نسخ الخط دون الحكم # عن عمر رضي الله عنه قال كنا نقرأ ?< ألا ترغبوا الرغبة عنهما >? بمعنى الإعراض عن آبائكم ومن ذلك ?< الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله والله عزيز حكيم >? معناه المحصن والمحصنة # والثالث نسخ الحكم دون الخط أوله أمر القبلة بأن المصلي يتوجه حيث شاء لقوله تعالى عز وجل !< فأينما تولوا فثم وجه الله >! 115 مدنية البقرة 2 فنسخ ذلك والتوجه إلى بيت المقدس بقوله عز وجل !< فول وجهك شطر المسجد الحرام >! 144 مكية البقرة 2 ونظائرها كثيرة سيأتي ذكرها في موضعه إن شاء الله
$ فصل # السور التي لم يدخلها ناسخ ومنسوخ هي ثلاث وأربعون سورة منها أم الكتاب و يوسف عليه السلام وياسين والحجرات وسورة الرحمان والحديد والصف والجمعة والتحريم والملك
والحاقة ونوح عليه السلام والجن والمرسلات والنبأ والنازعات والانفطار والمطففين والانشقاق والبروج والفجر والبلد والشمس والليل والضحى وألم نشرح والتين والقلم والقدر ولم يكن والزلزلة والعاديات والقارعة والتكاثر والهمزة وقريش والماعون و الكوثر والنصر وتبت والإخلاص والفلق والناس
& باب قسمة السور التي فيها ناسخ وليس فيها منسوخ # وعددها أربعون سورة 40 # الأنعام والأعراف ويونس وهود والرعد والحجر والنحل وبنو إسرائيل والكهف وطه والمؤمنون والنمل والقصص والعنكبوت والروم ولقمان والمضاجع والملائكة والصافات وص والزمر وفصلت والزخرف والدخان والجاثية والأحقاف ومحمد عليه الصلاة والسلام وق والنجم والقمر والامتحان ون والمعارج والقيامة والإنسان وعبس والطارق والغاشية والتين والكافرون & باب قسمة السور التي دخلها الناسخ والمنسوخ # وعددها خمس وعشرون سورة 25 # أولها البقرة وآل عمران والنساء والمائدة والأنفال والتوبة وإبراهيم وعليه السلام ومريم والأنبياء والحج والنور والفرقان والشعراء والأحزاب والمؤمن والشورى والذاريات والطور والواقعة والمجادلة والمزمل والمدثر والتكوير والعصر & باب # الإعراض عن المشركين في مائة وأربع عشرة آية 114 هن في ثمان وأربعين 48 سورة أولها # البقرة !< وقولوا للناس حسنا >! نسخ عمومها !< لنا أعمالنا >!
@ 13 @
!< فإن انتهوا >! نسخ معنى لأن تحته الأمر بالصفح قال !< قتال >! !< لا إكراه >! # آل عمران !< فإنما عليك البلاغ >! منهم تقاة
@ 15 @
# النساء !< فأعرض عنهم >! في موضعين !< فما أرسلناك عليهم حفيظا >! !< لا تكلف إلا نفسك >! !< إلا الذين يصلون >! # المائدة !< ولا آمين >! !< على رسولنا البلاغ >! !< عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم >! أي أمرتم ونهيتم # الأنعام !< قل لست عليكم بوكيل >! !< ثم ذرهم >! !< وما أنا عليكم بحفيظ >! !< وأعرض >! !< فما أرسلناك عليهم حفيظا >! !< ولا تسبوا >! !< فذرهم >! في موضعين !< ويا قوم اعملوا على مكانتكم >! !< قل انتظروا >! !< لست منهم في شيء >! # الأعراف !< وأعرض >! !< وأملي >! # الأنفال !< وإن استنصروكم >! يعني المعاهدين # التوبة !< فاستقيموا لهم >! # يونس !< فانتظروا >! !< فقل لي عملي >! !< وإما نرينك >! !< أفأنت تكره >! !< فمن اهتدى >! معنى الإمهال والصبر # هود !< إنما أنت نذير >! معنى أي أنت تنذر !< ويا قوم اعملوا على مكانتكم >! !< وانتظروا >!
# الرعد !< عليك البلاغ >! # الحجر !< ذرهم >! !< فاصفح >! !< ولا تمدن >! !< أنا النذير >! !< وأعرض >! # النحل !< فإنما عليك البلاغ >! !< وجادلهم >! !< واصبر >! مختلف فيه # بني إسرائيل !< ربكم أعلم بكم >! # مريم عليها السلام !< وأنذرهم >! معنى فليمدد !< فلا تعجل >! # طه !< فاصبر >! !< قل كل >! # الحج !< وإن جادلوك >! # المؤمنون !< فذرهم >! !< ادفع >! # النور !< فإن تولوا >! # النمل !< فمن اهتدى >! معنى # القصص !< لنا أعمالنا >! # العنكبوت !< وإنما أنا نذير >! معنى # الروم !< فاصبر >! # لقمان !< ومن كفر >! # السجدة !< وانتظر >! # الأحزاب !< ودع أذاهم >! # سبأ !< قل لا تسألون >! # فاطر !< إن أنت إلا نذير >! # ياسين !< فلا يحزنك >! مختلف فيه # الصافات !< فتول >! و !< تول >! !< وما بينهما >! # ص !< فاصبر >! !< إنما أنت منذر >! معنى # الزمر !< إن الله يحكم بينهم >! معنى !< فاعبدوا ما شئتم >! !< يا قوم اعملوا >! !< من يأتيه >! !< فمن اهتدى >! معنى !< أنت تحكم >! معنى لأنه تفويض # المؤمن !< فاصبر >! في موضعين
# السجدة ارفع # حم عسق !< وما أنت عليهم بوكيل >! !< لنا أعمالنا >! !< فإن أعرضوا >! # الزخرف !< فذرهم >! !< فاصفح >! # الدخان !< فارتقب >! # الجاثية !< يغفر >! # الاحقاف !< فاصبر >! # محمد عليه السلام فأمامنا !< ق >! !< فاصبر >! !< فذكر >! # المزمل !< واهجرهم >! !< وذرني >! # الإنسان !< فاصبر >! # الطارق !< فهل >! # الغاشية !< لست عليهم بمصيطر >! # والتين !< أليس الله بأحكم الحاكمين >! معنى # الكافرون !< لكم دينكم >! # نسخ الكل بقوله عز وجل !< فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم >! في سورة التوبة # وسنذكرها في مواضعها آية آية إن شاء الله تعالى
& باب الناسخ والمنسوخ على نظم القرآن # اعلم أن نزول المنسوخ بمكة كثير ونزول الناسخ بالمدينة كثير وليس في أم الكتاب شيء منهما # فأما سورة 1 البقرة وهي مدنية # ففيها ستة وعشرون موضعا 26 # فأول ذلك قوله !< إن الذين آمنوا والذين هادوا >! الآية 62 مدنية البقرة منسوخة وناسخة قوله تعالى !< ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه >! 85 مدنية آل عمران 3
# الآية الثانية قوله تعالى !< وقولوا للناس >! الآية 83
البقرة منسوخة وناسخها آية السيف قوله تعالى !< فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم >! 5 مدنية التوبة 9 # الآية الثالثة قوله تعالى !< فاعفوا واصفحوا حتى يأتي الله بأمره >! الآية 109 البقرة 2 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر >! إلى قوله تعالى !< حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون >! 29 مدنية التوبة 9 # الآية الرابعة قوله تعالى !< ولله المشرق والمغرب >! 115
مدنية البقرة 2 هذا محكم والمنسوخ منها قوله !< فأينما تولوا فثم وجه الله >! الآية 115 البقرة منسوخة وناسخة قوله تعالى !< وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره >! 144 مدنية البقرة 2 # الآية الخامسة قوله تعالى !< إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى >!
الآية 159 مدنية البقرة 2 نسخها الله تعالى بالاستثناء فقال !< إلا الذين تابوا وأصلحوا وبينوا >! 159 البقرة # الآية السادسة قوله تعالى !< إنما حرم عليكم الميتة والدم >! الآية 173 مدنية البقرة 2 فنسخ بالسنة بعض الميتة وبعض الدم بقوله ص أحلت لنا ميتتان ودمان السمك والجراد والكبد والطحال وقال سبحانه !< وما أهل به لغير الله >! ثم رخص للمضطر إذ كان غير باغ و لا عاد بقوله تعالى !< فلا إثم عليه >! # الآية السابعة قوله تعالى !< كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى >!
178 البقرة وها هنا موضع النسخ من الآية الأنثى وباقيها محكم وناسخها قوله تعالى !< وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس >! الآية 45 المائدة وقيل ناسخها قوله في سورة بني إسرائيل !< ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه سلطانا فلا يسرف في القتل >! 33 مدنية الإسراء 17 وقتل الحر بالعبد إسراف وكذلك قتل المسلم بالكافر # الآية الثامنة قوله تعالى !< كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين >!
180 مدنية البقرة 2 هذه الآية منسوخة وناسخها قوله تعالى !< يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين >! 11 مدنية النساء 4 # الآية التاسعة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم >! الآية 183 مدنية البقرة 2 منسوخة وذلك أنهم كانوا إذا فطروا أكلوا وشربوا وجامعوا النساء ما لم
يصلوا العشاء الأخيرة ويناموا قبل ذلك ثم نسخ الله ذلك بقوله تعالى !< أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلى نسائكم >! إلى قوله !< وابتغوا ما كتب الله لكم >! 187 البقرة مدنية في شأن عمر رضي الله عنه والأنصاري لأنهما جامعا معا ونزل في صرفه !< وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر >! 187 مدنية البقرة 2 # الآية العاشرة قوله تعالى !< وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين >! 184 مدنية البقرة 2 هذه الآية نصفها منسوخ وناسخها قوله تعالى !< فمن شهد منكم الشهر فليصمه >! 185 البقرة يعني فمن شهد منكم الشهر حيا بالغا حاضرا صحيحا عاقلا فليصمه
# الآية الحادية عشرة قوله تعالى !< وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين >! 190 مدنية البقرة 2 هذه جميعا محكمة إلا قوله تعالى !< وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة >! 36 مدنية التوبة 9 # الآية الثانية عشرة قوله تعالى !< ولا تقاتلوهم عند المسجد الحرام حتى يقاتلوكم فيه >! الآية 191 مدنية البقرة 2 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< فإن قاتلوكم فاقتلوهم >! 191 مدنية البقرة 2 # الآية الثالثة عشرة قوله تعالى !< فإن انتهوا فإن الله غفور رحيم >! 192 البقرة وهذا من الأخبار التي معناها الأمر تأويله فاغفروا لهم واعفوا عنهم ثم أخبار العفو منسوخة بآية السيف قال تعالى !< فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم >! الآية 5 مدنية التوبة 9
# الآية الرابعة عشرة قوله تعالى !< ولا تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محله >! الآية 196 مدنية البقرة 2 نسخت بالاستثناء بقوله تعالى !< فمن كان منكم مريضا أو به أذى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك >! الآية 196 مدنية البقرة 2 # الآية الخامسة عشرة قوله تعالى !< يسألونك ماذا ينفقون قل ما أنفقتم من خير فللوالدين والأقربين >! الآية 215 مدنية البقرة 2 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< إنما الصدقات للفقراء والمساكين >! الآية 60 مدنية التوبة 9 # الآية السادسة عشرة قوله تعالى !< يسألونك عن الشهر الحرام قتال فيه >! الآية 217 البقرة منسوخة وناسخها قوله تعالى !< فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم >! الآية 5 مدنية التوبة 9 # الآية السابعة عشرة قوله تعالى !< يسألونك عن الخمر والميسر >! الآية 219 مدنية البقرة 2 منسوخة نسختها آية منها قوله تعالى !< وإثمهما أكبر من نفعهما >! 219 البقرة فلما نزلت هذه الآية امتنع قوم عن شربها وبقي قوم ثم أنزل الله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون >! 43 النساء 4 وكانوا يشربون بعد العشاء الآخرة ثم يرقدون ثم يقومون من غد وقد صحوا ثم يشربونها بعد الفجر إن شاءوا فإذا جاء وقت الظهر لا يشربونها البتة ثم أنزل الله تعالى !< فاجتنبوه >! 90 مدنية المائدة 5 أي فاتركوه واختلف العلماء على التحريم ههنا أو قوله تعالى !< فهل أنتم منتهون >! 91 مدنية المائدة 5 لأن المعنى انتهوا كما قال في سورة الفرقان !< أتصبرون >! 20 مكية الفرقان 25 والمعنى اصبروا وقال في سورة الشعراء !< قوم فرعون ألا يتقون >! 11 مكية الشعراء 26 المعنى اتقوا # الآية الثامنة عشرة قوله تعالى !< ويسألونك ماذا ينفقون قل العفو >! 219 مدنية البقرة 2 يعني الفضل من أموالكم الآية منسوخة
وناسخها قوله تعالى !< خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم >! الآية 103 مدنية التوبة 9 # الآية التاسعة عشرة قوله تعالى !< ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن >! 231 البقرة وليس في هذه شيء منسوخ إلا بعض حكم المشركات وجميعها محكم وذلك أن المشركات يعم الكتابيات والوثنيات ثم استثنى من جميع المشركات الكتابيات فقط وناسخها قوله تعالى !< والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم >! 5 مدنية المائدة 5 يعني بذلك اليهوديات والنصرانيات ثم شرط مع الإباحة عفتهن فإن كن عواهر لم يجز # الآية العشرون قوله تعالى !< والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء >! 228 مدنية البقرة 2 هذه الآية جميعها محكم إلا كلاما في وسطها وهو قوله تعالى !< وبعولتهن أحق بردهن في ذلك >! الآية 228 مدنية البقرة 2 وناسخها قوله تعالى !< الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان >! الآية 229 مدنية البقرة 2 # الآية الحادية والعشرون قوله تعالى في آية الخلع !< ولا يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا >! 229 مدنية البقرة 2 ثم نسخها بالاستثناء وهو قوله تعالى !< إلا أن يخافا ألا يقيما حدود الله >! 229 مدنية البقرة 2 # الآية الثانية والعشرون قوله تعالى !< والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين >! الآية 233 البقرة نسخت بالاستثناء بقوله !< فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليهما >! 233 البقرة 2 فصارت هذه الإرادة بالاتفاق ناسخة لحولين كاملين # الآية الثالثة والعشرون قوله تعالى !< والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم >! الآية 240 البقرة منسوخة
وناسخها قوله تعالى !< والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا >! 234 البقرة وليس في كتاب الله آية تقدم ناسخها على منسوخها وآية أخرى في الأحزاب !< يا أيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك >! 50 مدنية الأحزاب 33 هذه الناسخة والمنسوخة !< لا يحل لك النساء من بعد >! الآية 52 مدنية الأحزاب 33 # الآية الرابعة والعشرون قوله تعالى !< لا إكراه في الدين >! الآية 256 البقرة 2 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم >! الآية 5 مدنية التوبة 9 # الآية الخامسة والعشرون قوله تعالى !< وأشهدوا إذا تبايعتم >! الآية 282 البقرة منسوخة وناسخها قوله تعالى !< فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته >! 283 مدنية البقرة 2 # الآية السادسة والعشرون قوله تعالى !< لله ما في السماوات وما في الأرض >! هذا محكم ثم قال !< وإن تبدوا ما في أنفسكم أو تخفوه يحاسبكم به الله >! 284 مدنية البقرة 2 فشق نزولها عليهم فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا تقولوا كما قالت اليهود سمعنا وعصينا ولكن قولوا سمعنا وأطعنا فلما علم الله تسليمهم لأمره أنزل ناسخ هذه بقوله تعالى !< لا يكلف الله نفسا إلا وسعها >! 286 مدنية البقرة 2 وخفف من الوسع بقول تعالى !< يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر >! 185 مدنية البقرة 2 # 3 سورة آل عمران # وهي مدنية فيها خمس آيات منسوخة # فأولى ذلك قوله تعالى !< فإن تولوا فإنما عليك البلاغ >! الآية 20 مدنية آل عمران 3 منسوخة وناسخها آية السيف وهي قوله تعالى
!< فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم >! 5 مدنية التوبة 9 # الآية الثانية قوله تعالى !< كيف يهدي الله قوما كفروا بعد إيمانهم >! إلى قوله !< ولا هم ينظرون >! 86 مدنية آل عمران 3 # 34 3 4 فهذه ثلاث تصير مع الأولى أربع آيات نزلت في ستة رهط ارتدوا عن الإسلام بعد أن أظهروا الإيمان ثم استثنى واحدا من الستة وهو سويد بن الصامت فقال تعالى !< إلا الذين تابوا من بعد ذلك وأصلحوا >! 89 آل عمران فهذه الآية ناسخة لها # الآية الخامسة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته >! 102 آل عمران 3 لما نزلت لم يعلم ما تأويلها فقالوا يا رسول الله ما حق تقاته فقال عليه السلام حق تقاته أن يطاع فلا يعصى وأن يذكر فلا ينسى وأن يشكر فلا يكفر فقالوا يا رسول ومن يطيق ذلك فانزعجوا لنزولها انزعاجا عظيما ثم أنزل الله بعد مدة يسيرة آية تؤكد حكمها وهي قوله تعالى !< وجاهدوا في الله حق جهاده >! 78 مدنية الحج 22 فكان هذا عليهم اعظم من الأول ومعناها اعملوا لله حق عمله فكادت عقولهم تذهل فلما علم الله ما قد نزل بهم في هذا الأمر العسير خفف فنسخها بالآية التي في التغابن وهي قوله تعالى !< فاتقوا الله ما استطعتم >! 16 مدنية التغابن 64 فكان هذا تيسرا من التعسير الأول وتخفيفا من التشديد الأول # 4 سورة النساء # وهي مدنية تحتوي على أربع وعشرين آية منسوخة أولاهما قوله تعالى !< وإذا حضر القسمة أولوا القربى واليتامى والمساكين >! 8 مدنية النساء 4 ثم نسخت بآية المواريث وهي قوله تعالى !< يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين >! الآية 11 مدنية النساء 4 # الآية الثانية قوله تعالى !< وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم >! الآية 9 النساء 4 ثم نسخت بقوله !< فمن خاف من موص جنفا أو إثما فأصلح بينهم فلا إثم عليه >!
الآية 182 مدنية البقرة 2 # الآية الثالثة قوله تعالى !< إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما >! 10 مدنية النساء 4 وذلك أنه لما نزلت هذه الآية امتنعوا من أموال من أموال اليتامى وعذلوهم فدخل الضرر على الأيتام ثم أنزل الله تعالى !< ويسألونك عن اليتامى قل إصلاح لهم خير >! 220 البقرة من المخالطة من ركوب الدابة وشرب اللبن فرخص في المخالطة ولم يرخص في أكل الأموال بالظلم ثم قال عز وجل !< ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل بالمعروف >! 6 النساء 4 فهذه الآية نسخت الأولى والمعروف القرض ههنا فإذا أيسر رده فإن مات قبل ذلك فلا شيء عليه # الآية الرابعة قوله تعالى !< واللاتي يأتين الفاحشة من نسائكم >! الآية 15 مدنية النساء 4 كانت المرأة إذا زنت وهي محصنة حبست في بيت فلا تخرج منه حتى تموت قال رسول الله عليه وسلم خذوا عني قد جعل لهن السبيل الثيب بالثيب الرجم والبكر جلد مائة وتغريب عام # فهذه الآية منسوخة بعضها بالكتاب بقوله تعالى !< أو يجعل الله لهن سبيلا >! 15 مدنية النساء 4 وبعضها بالسنة وكنى فيها بذكر النساء عن ذكر النساء والرجال # الآية الخامسة قوله تعالى !< واللذان يأتيانها منكم فآذوهما >! 16 مدنية النساء 4 كان البكران إذا زنيا عيرا وشتما فنسخ الله ذلك بالآية التي في سورة النور قوله !< الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة >! 2 مدنية النور 24 # الآية السادسة قوله تعالى !< إنما التوبة على الله للذين يعملون السوء بجهالة ثم يتوبون من قريب >! الآية 17 مدنية النساء 4 وذلك أن الله تعالى ضمن لأهل التوحيد أن يقبل أن يغرغروا وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل من
كان قبل الموت ثم استثنى في الآية الأخرى بقوله تعالى !< إلا ما قد سلف >! فصارت ناسخة لبعض حكمها لأهل الشرك ثم قال !< وليست التوبة للذين يعملون السيئات >! إلى آخرها 18 النساء 4 # الآية السابعة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا لا يحل لكم أن ترثوا النساء كرها >! إلى قوله !< ببعض ما آتيتموهن >! 19 النساء 4 ثم نسخت بالاستثناء بقوله تعالى !< إلا أن يأتين بفاحشة مبينة >! 19 النساء 4 # الآية الثامنة قوله تعالى !< ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم >! ثم نسخت بالاستثناء بقوله تعالى !< إلا ما قد سلف >! 22 النساء 4 أي من أفعالهم فقد عفوت عنه # الآية التاسعة قوله تعالى !< وأن تجمعوا بين الأختين >! 23 النساء 4 نسخت بالاستثناء بقوله !< إلا ما قد سلف >! 23 النساء 4 يعني عفوت عنه # الآية العاشرة قوله تعالى !< فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة >! 24 مدنية النساء 4 فنسخت بقوله صلى الله عليه وسلم إني كنت أحللت هذه المتعة ألا وإن الله ورسوله قد حرماها ألا فليبلغ الشاهد الغائب ووقع ناسخها من القرآن موضع ذكر ميراث الزوجة الثمن والربع فلم يكن لها في ذلك نصيب # وقال محمد بن إدريس الشافعي رحمة الله عليه موضع تحريمها في سورة المؤمن وناسخها قوله تعالى !< والذين هم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم >! 5 مكية المؤمنون 23 وأجمعوا أنها ليست بزوجة ولا ملك اليمين فنسخها الله بهذه الآية # الآية الحادية عشرة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل >! الآية 29 مدنية النساء 4 نسخت بقوله تعالى في سورة النور !< ليس على الأعمى حرج ولا على الأعرج حرج ولا على المريض حرج >!
61 مدنية النور 24 وكانوا يجتنبونهم في الأكل فقال تعالى ?< ليس على من أكل مع الأعرج والمريض حرج >? فصارت هذه الآية ناسخة لتلك الآية # الآية الثانية عشرة قوله تعالى !< والذين عقدت أيمانكم فآتوهم نصيبهم >! الآية 33 مدنية النساء 4 منسوخة وناسخها قوله تعالى في آخر الأنفال !< وأولو الأرحام بعضهم أولى ببعض >! الآية 75 مدنية الأنفال 8 # الآية الثالثة عشرة قوله تعالى !< فأعرض عنهم وعظهم >! الآية 63 مدينة النساء 4 فنسخت بآية السيف # الآية الرابعة عشرة قوله تعالى !< ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما >! الآية 64 مدنية النساء 4 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< استغفر لهم أو لا تستغفر لهم >! الآية 80 مدنية التوبة 9 # الآية الخامسة عشرة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا خذوا حذركم >! الآية 71 مدنية النساء 4 نسخت وناسخه !< وما كان المؤمنون لينفروا كافة >! 122 مدنية التوبة 9 # الآية السادسة عشرة قوله تعالى !< ومن تولى فما أرسلناك عليهم حفيظا >! الآية 80 مدنية النساء 4 نسخها آية السيف # الآية السابعة عشرة قوله تعالى !< فأعرض عنهم وتوكل على الله >! 81 مدنية النساء 4 نسخ الأعراض عنهم بآية السيف # الآية الثامنة عشرة قوله تعالى !< إلا الذين يصلون إلى قوم بينكم وبينهم ميثاق >! 90 مدنية النساء 4 نسخها الله بأيه السيف # الآية التاسعة عشرة قوله تعالى !< ستجدون آخرين يريدون أن يأمنوكم ويأمنوا قومهم >!
91 النساء 4 نسخها الله بآية السيف # الآية العشرون قوله تعالى !< فإن كان من قوم عدو لكم >! الآية 92 مدنية النساء 4 نسخها الله تعالى بقوله !< براءة من الله ورسوله >! 1 مدنية التوبة 9 # الآية الحادية والعشرون قوله تعالى !< ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها >! الآية 93 مدنية النساء 4 نسخت بقوله تعالى !< إن الله لا يغفر أن يشرك به >! 48 116 النساء 4 وبالآية التي في الفرقان !< والذين لا يدعون مع الله إلها آخر >! إلى قوله تعالى !< إلا من تاب >! 68 مدنية الفرقان 25 # الآية الثانية والعشرون قوله تعالى !< إن المنافقين في الدرك الأسفل من النار >! 145 النساء نسخ الله بعضها بالاستثناء بقوله !< إلا الذين تابوا وأصلحوا واعتصموا بالله وأخلصوا >! الآية 146 النساء 4 # الآية الثالثة والعشرون والرابعة والعشرون قوله تعالى !< فما لكم في المنافقين فئتين >! 88 النساء 4 وقوله !< فقاتل في سبيل الله لا تكلف إلا نفسك >! 84 النساء نسخهما آية السيف فتكون مع هاتين أربعا وعشرين آية # 5 سورة المائدة # تحتوي على تسع آيات منسوخة # أولاهن قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا لا تحلوا شعائر الله >! إلى قوله !< يبتغون فضلا من ربهم ورضوانا >! 2 مدنية المائدة 5 ثم نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< فاعف عنهم >! 159 آل عمران 13 المائدة نزلت في اليهود ثم نسخت بقوله تعالى !< قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر >!
الآية 29 التوبة 9 # الآية الثالثة قوله تعالى !< إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله >! 33 المائدة 5 نسخت بالاستثناء منها فيما بعدها بقوله تعالى !< إلا الذين تابوا من قبل أن تقدروا عليهم >! فصارت ناسخة لها # الآية الرابعة قوله تعالى !< فإن جاؤوك فاحكم بينهم أو أعرض عنهم >! الآية 42 المائدة 5 نسخت وناسخها قوله تعالى !< وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم >! 49 المائدة 5 # الآية الخامسة قوله تعالى !< ما على الرسول إلا البلاغ >! الآية 99 المائدة 5 نسخها آية السيف # الآية السادسة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم >! الآية 105 المائدة 5 نسخ آخرها أولها والناسخ منها قوله تعالى !< إذا اهتديتم >! 105 المائدة والهدى ههنا الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وليس في كتاب الله آية جمعت الناسخ والمنسوخ إلا هذه الآية # الآية السابعة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا شهادة بينكم >! الآية 106 مدنية المائدة 5 أجاز الله تعالى شهادة الذميين على صفة في السفر ثم نسخ ذلك بقوله !< وأشهدوا ذوي عدل منكم >! 2 مدنية الطلاق 65 وبطلت شهادة أهل الذمة في السفر والحضر # الآية الثامنة قوله تعالى !< فإن عثر على أنهما استحقا إثما >! 107 مدنية المائدة 5 نسخت نسخها الآية التي في الطلاق وهي قوله تعالى !< وأشهدوا ذوي عدل منكم >! الآية التي في الطلاق 65 # الآية التاسعة قوله تعالى !< ذلك أدنى أن يأتوا بالشهادة على وجهها >! أي
على حقيقتها إلى قوله !< أيمان بعد أيمانهم >! وباقي الآية محكمة نسخ ذلك من الآية بشهادة أهل الإسلام # 6 سورة الأنعام # مكية غير تسع آيات وهي نزلت ليلا وهي تحتوي على أربع عشرة آية منسوخة # أولاهن قوله تعالى !< قل إني أخاف إن عصيت ربي عذاب يوم عظيم >! الآية 15 مكية الأنعام 6 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر >! الآية 2 مدنية الفتح 48 # الآية الثانية قوله تعالى !< وإذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم >! إلى قوله !< وما على الذين يتقون من حسابهم من شيء >! 68 69 مكية الأنعام 6 نسخت بقوله تعالى في سورة النساء !< فلا تقعدوا معهم حتى يخوضوا في حديث غيره >! 140 مدنية النساء 4 # الآية الرابعة قوله تعالى !< وذر الذين اتخذوا دينهم لعبا ولهوا >! 70 مكية الأنعام 6 يعني به اليهود والنصارى ثم نسخ بعده بقوله تعالى !< قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر >! الآية 29 مدنية التوبة 9 # الآية الخامسة قوله تعالى !< قل الله ثم ذرهم في خوضهم يلعبون >! 91 مدنية الأنعام 6 نسخت بآية السيف # الآية السادسة قوله تعالى !< فمن أبصر فلنفسه ومن عمي فعليها وما أنا عليكم بحفيظ >! 104 مكية الأنعام 6 نسخت بآية السيف # الآية السابعة قوله تعالى !< وأعرض عن المشركين >! 106 مكية الأنعام 6 نسخت بآية السيف
# الآية الثامنة قوله تعالى !< وما جعلناك عليهم حفيظا وما أنت عليهم بوكيل >! 107 مكية الأنعام 6 نسخت بآية السيف # الآية التاسعة قوله تعالى !< ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم >! 108 مكية الأنعام 6 نسخت بآية السيف # الآية العاشرة قوله تعالى !< فذرهم وما يفترون >! 112 137 مكية الأنعام 6 نسخها آية السيف # الآية الحادية عشرة قوله تعالى !< ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه >! الآية 121 مكية الأنعام 6 نسخت وناسخها الآية التي في سورة المائدة قوله تعالى !< اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب >! 5 مدنية المائدة 6 يعني الذبائح # الآية الثانية عشرة قوله تعالى !< قل يا قوم اعملوا على مكانتكم >! الآية 135 مكية الأنعام 6 نسخت بآية السيف # الآية الثالثة عشرة قوله تعالى !< إن الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا >! الآية 159 مكية الأنعام 6 نسخت بآية السيف # 7 سورة الأعراف مكية # جميعها محكم غير آيتين أولاهن قوله !< وذروا الذين يلحدون في أسمائه >! الآية 180 مكية الأعراف 7 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين >! 199 مكية الأعراف 7 وهذه الآية من عجيب المنسوخ لأن أولها منسوخ وآخرها منسوخ وأوسطها محكم قوله !< خذ العفو >! يعني الفضل من أموالهم والأمر بالمعروف محكم وتفسيره معروف وقوله !< وأعرض عن الجاهلين >! منسوخ بآية السيف
# 8 سورة الأنفال مدنية # وفيها من المنسوخ ست آيات أولاهن قوله تعالى !< يسألونك عن الأنفال >! 1 مدنية الأنفال 8 يعني الغنائم نسخت بقوله تعالى !< واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن لله خمسه >! الآية 41 مدنية الأنفال 8 # الآية الثانية قوله تعالى !< وما كان الله ليعذبهم وأنت فيهم >! الآية 33 مدنية الأنفال 8 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< وما لهم ألا يعذبهم الله >! الآية 34 مدنية الأنفال 8 # الآية الثالثة قوله تعالى !< قل للذين كفروا إن ينتهوا يغفر لهم ما قد سلف >! الآية 38 مدنية الأنفال 8 منسوخة وناسخها !< وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة >! الآية # الآية الرابعة قوله تعالى !< وإن جنحوا للسلم فاجنح لها >! الآية 61 مدنية الأنفال 8 منسوخة وناسخها !< قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر >! يعني اليهود 29 مدنية التوبة 9 # الآية الخامسة قوله تعالى !< إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين >! الآية 65 مدنية الأنفال 8 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< الآن خفف الله عنكم وعلم أن فيكم ضعفا >! 66 مدنية الأنفال 8 # الآية السادسة قوله تعالى !< والذين آمنوا ولم يهاجروا ما لكم من ولايتهم من شيء حتى يهاجروا >! الآية 72 مدنية الأنفال 8 وذلك أنهم كانوا يتوارثون بالهجرة لا بالنسب ثم نسخ ذلك بقوله تعالى !< وأولو الأرحام بعضهم أولى ببعض في كتاب الله إن الله بكل شيء عليم >! 75 مدنية الأنفال 8
# 9 سورة التوبة مدنية # وهي من أواخر ما نزل من القرآن فيها سبع آيات منسوخات أولاهن قوله تعالى !< براءة من الله ورسوله >! إلى قوله !< فسيحوا في الأرض أربعة أشهر >! الآية 12 مدنية التوبة 9 ثم نسخت بقوله تعالى !< فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم >! 5 مدنية التوبة 9 وقيل نسخ أولها بآخرها وهي قوله تعالى !< فإن تابوا >! الآية 5 مدنية التوبة 9 # الآية الثانية قوله تعالى !< والذين يكنزون الذهب والفضة >! الآية 34 مدنية التوبة 9 نسخت بالزكاة الواجبة # الآية الثالثة قوله تعالى !< إلا تنفروا يعذبكم عذابا أليما >! الآية 39 مدنية التوبة 9 نسخت بقوله تعالى !< وما كان المؤمنون لينفروا كافة >! 122 مدنية التوبة 9 # الآية الرابعة قوله تعالى !< عفا الله عنك لم أذنت لهم >! الآية 43 مدنية التوبة 9 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< فإذا استأذنوك لبعض شأنهم فأذن لمن شئت منهم >! 62 النور 24 # الآية الخامسة قوله تعالى !< استغفر لهم >! الآية 80 مدنية التوبة 9 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< سواء عليهم أستغفرت لهم أم لم تستغفر لهم >! الآية 6 مدنية المنافقون 63 # الآية السادسة قوله تعالى !< الأعراب أشد كفرا ونفاقا >! 97 مدنية التوبة 9 هذه الآية والآية التي تليها صارتا منسوختين بقوله تعالى !< ومن الأعراب من يؤمن بالله واليوم الآخر >! الآية 99 مدنية التوبة 9
# 10 سورة يونس عليه السلام مكية # منها أربع آيات منسوخات أولاهن قوله تعالى !< إني أخاف إن عصيت ربي عذاب يوم عظيم >! 15 مكية يونس 10 نسخت بقوله تعالى !< ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر >! الآية 2 الفتح 48 # الآية الثانية قوله تعالى !< فانتظروا إني معكم من المنتظرين >! 102 يونس 10 الآية منسوخة بآية السيف # الآية الثالثة قوله تعالى !< وإن كذبوك فقل لي عملي ولكم عملكم >! الآية 41 مكية يونس 10 نسخت بآية السيف # الآية الرابعة قوله تعالى !< فمن اهتدى فإنما يهتدي لنفسه >! إلى قوله !< وما أنا عليكم بوكيل >! 108 مكية يونس 10 نسخت بآية السيف # 11 سورة هود عليه السلام مكية # فيها من المنسوخ ثلاث آيات أولاهن قوله تعالى !< من كان يريد الحياة الدنيا وزينتها >! الآية 15 مكية هود 11 نسخت بقوله تعالى في سورة بني إسرائيل !< من كان يريد العاجلة عجلنا له فيها ما نشاء لمن نريد >! الآية 18 مكية الإسراء 17 # الآية الثانية قوله تعالى !< وقل للذين لا يؤمنون اعملوا على مكانتكم >! الآية 121 مكية هود 11 نسخت بآية السيف # الآية الثالثة قوله تعالى !< وانتظروا إنا منتظرون >! الآية 122 مكية هود 11 منسوخة بآية السيف
# 12 سورة يوسف عليه السلام مكية # ليس فيها ناسخ و لا منسوخ # 13 سورة الرعد مكية # وفيها من المنسوخ آيتان آية مجمع على نسخها وآية مختلف في نسخها فالمجمع على نسخها قوله تعالى !< فإنما عليك البلاغ وعلينا الحساب >! الآية 40 الرعد 13 منسوخة بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< وإن ربك لذو مغفرة للناس على ظلمهم >! الآية 6 الرعد 13 منسوخة وناسخها قوله تعالى !< إن الله لا يغفر أن يشرك به >! الآية 48 116 النساء 4 والظلم ههنا الشرك # 14 سورة إبراهيم عليه السلام مكية # وهي عند جميع المفسرين محكمة إلا عبد الرحمن بن زيد بن أسلم فإنه قال فيها آية منسوخة والجمهور على خلاف قوله وهي قوله تعالى !< وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها إن الإنسان لظلوم كفار >! الآية 34 مكية إبراهيم 14 نسخت وناسخها قوله تعالى !< وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها إن الله لغفور رحيم >! في النحل 18 مكية النحل 16 # 15 سورة الحجر مكية # وفيها من المنسوخ خمس آيات # الآية الأولى قوله تعالى !< ذرهم يأكلوا ويتمتعوا >! الآية 3 مكية الحجر 15 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< فاصفح الصفح الجميل >! الآية 85
مكية الحجر 15 نسخت بآية السيف # الآية الثالثة قوله تعالى !< لا تمدن عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم >! الآية 88 مكية الحجر 15 نسخت بآية السيف # الآية الرابعة قوله تعالى !< وقل إني أنا النذير المبين >! الآية 89 مكية الحجر 19 نسخ معناها أو لفظها بآية السيف # الآية الخامسة قوله تعالى !< فاصدع بما تؤمر وأعرض عن المشركين >! الآية 94 مكية الحجر 15 نصفها محكم ونصفها منسوخ بآية السيف # 16 سورة النحل # قيل أنزل منها بمكة أربعون آية من أولها وباقيها وبالمدينة وفيها خمس آيات منسوخات # أولاهن قوله تعالى !< ومن ثمرات النخيل والأعناب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا >! الآية 67 مكية النحل 16 نسخت بقوله تعالى !< قل إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منها وما بطن والإثم >! 33 الأعراف 7 يعني الخمر وقيل بقوله !< فهل أنتم منتهون >! 91 مدنية المائدة 5 أي انتهوا # الآية الثانية قوله تعالى !< فإن تولوا فإنما عليك البلاغ >! الآية 82 مكية النحل 16 نسخت بآية السيف # الآية الثالثة قوله تعالى !< من كفر بالله من بعد إيمانه >! الآية 106 مكية النحل 16 نسخت بقوله تعالى !< إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان >! 106 النحل 16 وقيل بآية السيف # الآية الرابعة قوله تعالى !< وجادلهم >! 125 النحل 16 وقوله
!< واصبر >! 128 النحل نسختا كلتاهما بآية السيف مع الاختلاف فيهما # 17 سورة بني إسرائيل مكية # فيها ثلاث آيات منسوخات أولاهن قوله تعالى !< وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما يبلغن عندك الكبر أحدهما أو كلاهما >! إلى قوله !< كما ربياني صغيرا >! 23 24 الإسراء 17 نسخ بعض حكمها وبقي البعض على ظاهره فهو في أهل التوحيد محكم وبعض حكمها في أهل الشرك منسوخ بقوله تعالى !< ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين >! الآية # الآية الثانية قوله تعالى !< ربكم أعلم بكم >! إلى قوله تعالى !< وما أرسلناك عليهم وكيلا >! من 25 حتى 54 الإسراء 17 نسختا بآية السيف # الآية الثالثة قوله تعالى !< قل ادعوا الله أو ادعوا الرحمن >! إلى قوله !< فله الأسماء الحسنى >! 110 الإسراء 17 نسخت بالآية التي في سورة الأعراف وهي قوله تعالى !< واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة >! الآية # 18 سورة الكهف مكية # وقد أجمع المفسرون على أن لا منسوخ فيها إلا السدي وقتادة فإنهما قالا فيها آية واحدة وهي قوله تعالى !< فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر >! الآية 29 الكهف 18 قالا ناسخها !< إلا أن يشاء الله >! # 19 سورة مريم عليها السلام # وفيها من المنسوخ خمس آيات أولاهن قوله تعالى !< وأنذرهم يوم الحسرة >!
39 مريم 19 نسخ الإنذار بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< فسوف يلقون غيا >! 59 مريم 19 والغي واد في جهنم الآية نسخت بالاستثناء بقوله !< إلا من تاب >! 60 مريم 19 # الآية الثالثة قوله تعالى !< قل من كان في الضلالة فليمدد له الرحمن مدا >! 75 مريم 19 نسخت بآية السيف # الآية الرابعة قوله تعالى !< فلا تعجل عليهم >! الآية 84 مريم 19 نسخ أولها بآية السيف # الآية الخامسة قوله تعالى !< فخلف من بعدهم خلف >! الآية 59 مريم 19 نسخت بالاستثناء وهو قوله تعالى !< إلا من تاب وآمن >! 60 مريم 19 وفيها تقديم في النظم # 20 سورة طه مكية # وفيها من المنسوخ ثلاث آيات أولاهن قوله تعالى !< ولا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه >! 114 طه 20 فنسخ معناها لا لفظها بقوله تعالى !< سنقرئك فلا تنسى >! 6 الأعلى 87 # الآية الثانية قوله تعالى !< فاصبر على ما يقولون >! 130 طه 2 نسخ الصبر منها بآية السيف # الآية الثالثة قوله تعالى !< قل كل متربص >! 135 طه 20 جميع الآية منسوخ بآية السيف # 21 سورة الأنبياء مكية # نسخ منها آيتان أولهما قوله تعالى !< إنكم وما تعبدون من دون الله حصب جهنم >!
الآية 98 الأنبياء 21 والآية التي بعدها قوله !< وكل فيها خالدون >! 99 الأنبياء 21 هاتان الآيتان نسختا كلتاهما بقوله تعالى !< إن الذين سبقت لهم منا الحسنى >! الآية 101 الأنبياء 21 # 22 سورة الحج مكية # وهي من أعاجيب القرآن لأن فيها مكيا ومدنيا وفيها حضريا وسفريا وفيها حربيا وفيها سلميا وفيها ليليا وفيها نهاريا فأما المكي فمن رأس الثلاثين آية إلى آخرها وأما المدني منها فمن رأس خمس عشرة إلى رأس الثلاثين وأما الليلي منها فمن أولها إلى رأس خمس آيات وأما النهاري منها فمن رأس الخمس إلى رأس اثنتي عشرة وأما الحضري فإلى رأس العشرين ونسب إلى المدينة لقربه منها وفيها ناسخ ومنسوخ فمن ذلك المنسوخ آيتان أولهما قوله تعالى !< وما أرسلنا من قبلك من رسول ولا نبي إلا إذا تمنى ألقى الشيطان في أمنيته >! الآية 52 الحج 22 نسخت بقوله تعالى !< سنقرئك فلا تنسى >! الآية 6 الأعلى 87 # الآية الثانية قوله تعالى !< يحكم بينهم >! الآية 56 الحج 21 نسخها آية السيف # 23 سورة المؤمنون مكية # فيها آيتان منسوختان إحداهما قوله تعالى !< فذرهم في غمرتهم حتى حين >! الآية 54 المؤمنون 23 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< ادفع بالتي هي أحسن السيئة >! الآية 97 المؤمنون 23 نسخت بآية السيف
# 24 سورة النور مدنية # تحتوي على سبع آيات منسوخات أولاهن قوله تعالى !< ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا >! الآية 4 النور 24 نسخت بقوله !< إلا الذين تابوا >! 5 النور 24 # الآية الثانية قوله تعالى !< الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة >! 3 النور 24 هذه الآية من أعاجيب آيات القرآن لأن لفظها لفظ الخبر ومعناها معنى النهي تقدير الكلام والله أعلم لا تنكحوا زانية ولا مشركة # ومثله قوله تعالى !< لتعلموا أن الله على كل شيء قدير >! 12 مدنية الطلاق 65 والمعنى اعلموا ومثله قوله تعالى !< ولكن رسول الله وخاتم النبيين >! 45 مدنية الأحزاب 33 والمعنى قولوا رسول الله ناسخها قوله !< وأنكحوا الأيامى منكم >! 32 النور 24 ولفظ النكاح ينقسم على خمسة أقسام منها ما كني بالنكاح عن العقد قال الله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات >! الآية 49 مدنية الأحزاب 33 # والثاني نكاح آخر اسم للوطء لا العقد وهو قوله تعالى !< فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره >! 230 البقرة 2 # والثالث نكاح آخر لا وطء ولا عقد وهو بمعنى الحلم والعقل وهو قوله تعالى !< وابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح >! 6 النساء 4 # والرابع نكاح آخر لا عقد ولا وطء ولا حلم ولكن سمي المهر باسم النكاح وهو قوله تعالى !< وليستعفف الذين لا يجدون نكاحا حتى يغنيهم الله من فضله >! 23 النور 24 يعني مهرا # الخامس نكاح آخر في قوله تعالى !< الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة >! 3 النور 24 وسماه في هذا الموضع باسم النكاح ومعناه السفاح # الآية الثالثة قوله تعالى !< والذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إلا أنفسهم >!
الآية 6 النور 24 نسخها بالآيتين بعدها وهما قوله تعالى !< والخامسة أن لعنة الله عليه إن كان من الكاذبين >! 7 النور 24 وكذلك !< والخامسة أن غضب الله عليها إن كان من الصادقين >! 9 النور 24 فيدرأ عنها الحد وعنه الحلف مع الملاعنة فإن نكل أحدهما وحلف الآخر سقط الحد عن الحالف وأقيم الحد على الناكل # الآية الرابعة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم >! الآية 27 النور 24 نسخت بقوله تعالى !< ليس عليكم جناح أن تدخلوا بيوتا غير مسكونة >! الآية 29 النور 24 # الآية الخامسة قوله تعالى !< وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن >! الآية 31 النور 24 نسخ بعضها بقوله !< والقواعد من النساء >! الآية # الآية السادسة قوله تعالى !< فإنما عليه ما حمل وعليكم ما حملتم >! الآية 54 النور 24 نسخها آية السيف # الآية السابعة قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا ليستأذنكم الذين ملكت أيمانكم >! الآية 58 النور 24 نسخها بالآية التي تليها وهي قوله تعالى !< وإذا بلغ الأطفال منكم الحلم >! الآية 59 النور 24 # سورة الفرقان مكية # وفيها من المنسوخ آيتان أولاهما قوله تعالى !< والذين لا يدعون مع الله إلها آخر >! إلى قوله !< ويخلد فيه مهانا >! 68 69 الفرقان 25 الآية نسخها بقوله !< إلا من تاب وآمن وعمل عملا صالحا >! الآية 70 الفرقان 25
# الآية الثانية قوله تعالى !< وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما >! الآية 63 الفرقان 25 منسوخة في حق الكفار بآية السيف وبعض معناها محكم في حق المؤمنين # 26 سورة الشعراء # مكية سوى أربع آيات من آخرها التي نزلت بالمدينة وجميعها محكم إلا قوله تعالى !< والشعراء يتبعهم الغاوون >! إلى قوله !< وأنهم يقولون ما لا يفعلون >! 226 الشعراء 26 ثم نسخ في شعراء المسلمين فاستثناهم ب !< إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وذكروا الله كثيرا >! الآية 227 الشعراء 26 فصارت ناسخة للآيات التي قبلها ههنا الشعر في الطاعة # 27 سورة النمل مكية # وجميعها محكم غير آية وهي قوله تعالى !< وأن أتلو القرآن >! الآية 92 النمل 27 نسخت بآية السيف معنى # 28 سورة القصص # وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< وقالوا لنا أعمالنا ولكم أعمالكم >! الآية 55 القصص 28 نسخت بآية السيف
# 29 سورة العنكبوت # نزل من أولها إلى رأس عشر آيات بمكة ونزل باقيها بالمدينة جميعها محكم غير قوله تعالى !< ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن >! الآية 46 العنكبوت 29 نسخت بالآية التي في سورة التوبة وهي قوله تعالى !< قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر >! 29 التوبة 9 # 30 سورة الروم # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة # 31 سورة لقمان # وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< ومن كفر فلا يحزنك كفره >! الآية 23 لقمان 31 # 32 سورة السجدة # مكية وجميعها محكم غير آخرها وهو قوله تعالى !< فأعرض عنهم وانتظر إنهم منتظرون >!
30 السجدة 32 # 33 سورة الأحزاب # مدنية وفيها من المنسوخ آيتان أولاهما قوله تعالى !< ولا تطع الكافرين والمنافقين ودع أذاهم وتوكل على الله >! الآية 48 الأحزاب 333 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< لا يحل لك النساء من بعد ولا أن تبدل >! الآية 52 الأحزاب 33 نسخها الله تعالى بآية قبلها في النظم وهي قوله تعالى !< يا أيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك >! الآية 50 الأحزاب 33 # 34 سورة سبأ # مكية فيها آية منسوخة وهي قوله تعالى !< قل لا تسألون عما أجرمنا ولا نسأل عما تعملون >! الآية 25 سبأ 34 نسخها الله تعالى بآية السيف # 35 سورة الملائكة # مكية جميعها محكم غير قوله تعالى !< إن أنت إلا نذير >! 23 فاطر 35 نسخ معنى الآية لا لفظها يآية السيف # 36 سورة ياسين # مكية ليس فيها ناسخ ولا منسوخ # 37 سورة الصافات # مكية وجميعها محكم غير أربع آيات الأول والثانية قوله تعالى !< فتول عنهم حتى حين وأبصرهم فسوف يبصرون >!
الآيتان 174 175 الصافات 37 نسختا بآية السيف # الثالثة والرابعة قوله تعالى !< وتول عنهم حتى حين وأبصر فسوف يبصرون >! 178 179 الصافات أيضا نسختا بآية السيف # 38 سورة ص # مكية وجميعها محكم غير آيتين أولهما قوله تعالى !< إن يوحى إلي إلا أنما أنا نذير مبين >! 70 ص 38 نسخت بآية السيف # الثانية قوله تعالى !< ولتعلمن نبأه بعد حين >! 88 ص 38 نسخت أيضا بآية السيف # 39 سورة الزمر # مكية وجميعها محكم غير سبع آيات أولاهن قوله تعالى !< إن الله يحكم بينهم فيما هم فيه يختلفون >! الآية 3 الزمر 39 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< قل إني أخاف إن عصيت ربي عذاب يوم عظيم >! الآية 13 الزمر 39 نسخت بقوله تعالى !< ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر >! الآية 2 الفتح 48 الآية الثالثة قوله تعالى !< فاعبدوا ما شئتم من دونه >! 15 الزمر 39 نسخت بآية السيف
# الآية الرابعة قوله تعالى !< ومن يضلل الله فما له من هاد >! الآية 22 36 الزمر 39 نسخ معناها بآية السيف # الآية الخامسة قوله تعالى !< قل يا قوم اعملوا على مكانتكم >! الآية 39 الزمر 39 نسخت بآية السيف # الآية السادسة قوله تعالى !< أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون >! الآية 46 الزمر 39 نسخ معناها بآية السيف # الآية السابعة قوله تعالى !< فمن اهتدى فلنفسه ومن ضل فإنما يضل عليها >! الآية 15 الإسراء 17 نسخها الله عز وجل بآية السيف # 40 سورة المؤمن # مكية وجميعها محكم غير آيتين أولاهما قوله تعالى !< فاصبر إن وعد الله حق >! الآية 55 غافر 40 نسخ الأمر بالصبر بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< فاصبر إن وعد الله حق فإما نرينك بعض الذي نعدهم >! 77 غافر 40 نسخت أيضا بآية السيف # 41 سورة فصلت # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< ولا تستوي الحسنة ولا السيئة >! الآية 34 فصلت 41 نسخت بآية السيف # 42 سورة الشورى # مكية وجميعها محكم غير ثماني آيات أولاهن قوله تعالى !< يسبحون بحمد ربهم ويستغفرون لمن في الأرض >! الآية 15 الشورى 42
نسخت بالآية التي في سورة المؤمن !< يسبحون بحمد ربهم ويؤمنون به ويستغفرون للذين آمنوا >! الآية 7 غافر 40 # الآية الثانية قوله تعالى !< الله حفيظ عليهم وما أنت عليهم بوكيل >! الآية 6 الشورى 42 نسخة بآية السيف الآية الثالثة قوله تعالى !< فلذلك فادع واستقم كما أمرت ولا تتبع أهواءهم >! الآية 15 الشورى 42 نسخت بقوله تعالى في سورة التوبة !< قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر >! الآية 20 التوبة # الآية الرابعة قوله تعالى !< من كان يريد حرث الآخرة نزد له في حرثه >! الآية 20 الشورى 42 نسخت بقوله تعالى في سورة سبحان !< من كان يريد العاجلة عجلنا له >! 18 الاسراء 17 # الآية الخامسة قوله تعالى !< قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى >! الآية 23 الشورى 42 مختلف في نسخها ناسخها قوله تعالى !< قل ما سألتكم من أجر فهو لكم >! الآية 47 سبأ 34 # الآية السادسة قوله تعالى !< والذين إذا أصابهم البغي هم ينتصرون >! الآية 39 الشورى 42
# الآية السابعة قوله تعالى !< ولمن انتصر بعد ظلمه فأولئك ما عليهم من سبيل >! 41 الشورى 42 الآيتان نسختا بقوله عز وجل !< ولمن صبر وغفر إن ذلك لمن عزم الأمور >! 43 الشورى 42 # الآية الثامنة قوله تعالى !< فإن أعرضوا فما أرسلناك عليهم حفيظا >! الآية 48 الشورى 42 نسخت بآية السيف # 43 سورة الزخرف # مكية وجميعها محكم غير آيتين أولاهما قوله تعالى !< فذرهم يخوضوا ويلعبوا >! الآية 83 الزخرف 43 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< فاصفح عنهم وقل سلام >! الآية 89 الزخرف 43 نسخت بآية السيف # 44 سورة الدخان # وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى في آخرها !< فارتقب إنهم مرتقبون >! 59 الدخان 44 نسخت بآية السيف # 45 سورة الجاثية # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة قوله تعالى !< قل للذين آمنوا يغفروا للذين لا يرجون أيام الله >!
الآية 14 الجاثية 45 نزلت في عمر بن الخطاب ثم نسخت بآية السيف # سورة الاحقاف # مكية وجميعها محكم غير آيتين # أولاهما قوله تعالى !< قل ما كنت بدعا من الرسل وما أدري ما يفعل بي ولا بكم إن أتبع إلا ما يوحى إلي وما أنا إلا نذير مبين >! 9 الاحقاف 46 نسخت بقوله تعالى !< إنا فتحنا لك فتحا مبينا ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر >! الآية 2 الفتح 48 # الآية الثانية قوله تعالى !< فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل >! 35 الاحقاف 46 نسخ معناها بآية السيف # 47 سورة محمد صلى الله عليه وسلم # اختلف فيها هل هي مكية أو مدنية وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< فإما منا بعد وإما فداء >! 5 محمد 47 نسخ المن والفداء بآية السيف
# وقيل في سورة محمد صلى الله عليه وسلم آيتان منسوختان الثانية منهما قوله تعالى !< ولا يسألكم أموالكم >! الآية 36 محمد 47 نسخت بقوله !< إن يسألكموها فيحفكم تبخلوا ويخرج أضغانكم >! الآية 37 محمد 47 # 48 سورة الفتح # مدنية بإجماع فيها ناسخ وليس فيها منسوخ # 49 سورة الحجرات # مدنية لا ناسخ فيها ولا منسوخ # 50 سورة ق # مكية بإجماع وجميعها محكم إلا آيتين # إحداهما قوله تعالى !< فاصبر على ما يقولون >! الآية 39 ق 50 نسخ الصبر بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< نحن أعلم بما يقولون >! 45 ق 50 هذا محكم !< وما أنت عليهم بجبار >! 45 ق 50 نسخ بآية السيف # 51 سورة الذاريات # مكية وفيها من المنسوخ آيتان احداهما قوله تعالى !< وفي أموالهم حق للسائل والمحروم >! الآية 19 الذاريات 51 نسخ ذلك بآية الزكاة
# الآية الثانية قوله تعالى !< فتول عنهم فما أنت بملوم >! 54 الذاريات 51 نسخت بقوله بعدها !< وذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين >! 55 الذاريات 51 # 52 سورة الطور # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< واصبر لحكم ربك فإنك بأعيننا >! الآية 48 الطور 52 نسخ الصبر منها بآية السيف # 53 سورة النجم # مكية وجميعها محكم غير آيتين احداهما قوله تعالى !< فأعرض عن من تولى عن ذكرنا >! الآية 29 النجم 53 منسوخة بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< وأن ليس للإنسان إلا ما سعى >! 39 النجم 53 نسخت بقوله تعالى !< والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان >! الآية فيجعل الولد الطفل يوم القيامة في ميزان أبيه ويشفع الله تعالى الآباء في الأبناء والأبناء في الآباء ويدل على ذلك قوله تعالى !< آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعا >! 11 النساء 4 # 55 سورة الرحمن # مكية وجميعها محكم ليس فيها ناسخ ولا منسوخ
# 56 سورة الواقعة # مكية أجمع المفسرون على أن لا ناسخ فيها ولا منسوخ إلا قول مقاتل بن سليمان فإنه قال نسخ منها قوله تعالى !< ثلة من الأولين وقليل من الآخرين >! 14 الواقعة 56 نسخت بقوله تعالى !< ثلة من الأولين وثلة من الآخرين >! الآية 40 الواقعة 56 # 57 سورة الحديد # مدنية إلا في قول الكلبي فإنها مكية وليس فيها ناسخ ولا منسوخ # 58 سورة المجادلة # وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا إذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة >! الآية 12 المجادلة 58 نسخت بقوله تعالى !< أأشفقتم أن تقدموا بين يدي نجواكم صدقات >! الآية 13 المجادلة 58 فنسخ الله تعالى ذلك بإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة والطاعة لله والرسول # 59 سورة الحشر # مدنية ليس فيها منسوخ وفيها ناسخ وهو قوله تعالى !< ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى >! الآية 7 الحشر 59 نسخ الله تعالى بها آية الأنفال !< يسألونك عن الأنفال >! 1 الأنفال 8 # 60 سورة الممتحنة # مدنية وفيها من المنسوخ ثلاث آيات
# أولاهن قوله تعالى !< لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين >! 8 الممتحنة 60 الآية نسخت بقوله تعالى !< إنما ينهاكم الله عن الذين قاتلوكم في الدين وأخرجوكم من دياركم >! الآية 9 الممتحنة 60 وهذا مما نسخ فيه العموم بتفسير الخصوص # الآية الثانية قوله تعالى !< يا أيها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن >! الآية 10 الممتحنة 60 فنسخت بقوله تعالى !< فلا ترجعوهن إلى الكفار >! الآية 10 الممتحنة 60 وقيل نسخت بقوله تعالى !< براءة من الله ورسوله >! 1 براءة 9 # الآية الثالثة قوله تعالى !< وإن فاتكم شيء من أزواجكم إلى الكفار فعاقبتم >! إلى قوله !< واتقوا الله الذي أنتم به مؤمنون >! 11 الممتحنة 60 نسخت بآية السيف # 61 سورة الصف # مكية ليس فيها ناسخ ولا منسوخ # 62 سورة الجمعة # مدنية ليس فيها ناسخ ولا منسوخ # 63 سورة المنافقون # مدنية وجميعها محكم وفيها ناسخ وليس فيها منسوخ فالناسخ قوله تعالى !< سواء عليهم أستغفرت لهم أم لم تستغفر لهم >! الآية 6
المنافقون # 64 سورة التغابن # مدنية فيها ناسخ وليس فيها منسوخ فالناسخ قوله تعالى !< فاتقوا الله ما استطعتم >! 16 التغابن 64 # 65 سورة الطلاق # مدنية وجميعها محكم فيها ناسخ وليس فيها منسوخ فالناسخ قوله تعالى !< وأشهدوا ذوي عدل منكم >! الآية 2 الطلاق 65 # 66 سورة التحريم # مدنية وليس فيها ناسخ ولا منسوخ # 67 سورة الملك # مكية ليس فيها ناسخ ولا منسوخ # 68 سورة ن # مكية وجميعها محكم غير آيتين إحداهما قوله تعالى !< فذرني ومن يكذب بهذا الحديث >! 44 القلم 68 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< فاصبر لحكم ربك >! 48 القلم 68 نسخت بآية السيف
# 69 سورة الحاقة # مكية لا ناسخ فيها ولا منسوخ # 7 سورة المعارج # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< فذرهم يخوضوا ويلعبوا >! الآية 42 المعارج 70 نسخها بآية السيف # 71 سورة نوح عليه السلام # مكية وجميعها محكم لا ناسخ فيها ولا منسوخ # 72 سورة الجن # مكية وجميعها محكم لا ناسخ فيها ولا منسوخ # 73 سورة المزمل # مكية فيها ست آيات منسوخات # أولاهن قوله تعالى !< يا أيها المزمل قم الليل >! 12 المزمل 73 نسخت بقوله تعالى !< إلا قليلا >! والقليل بالنصف والنصف بقوله تعالى !< أو انقص منه >! 3 المزمل أي إلى الثلث وقوله !< ثقيلا >! 5 المزمل نسخت بقوله تعالى !< يريد الله أن يخفف عنكم >! # الآية الرابعة قوله تعالى !< واهجرهم هجرا جميلا >! الآية 10 المزمل 73 نسخت بآية السيف # الآية الخامسة قوله تعالى !< وذرني والمكذبين >! الآية 11
المزمل 73 نسخت بآية السيف # الآية السادسة قوله تعالى !< فمن شاء اتخذ إلى ربه سبيلا >! 19 المزمل 73 نسخت بقوله تعالى !< وما تشاؤون إلا أن يشاء الله >! 30 الإنسان 76 وقيل نسخت بآية السيف # 74 سورة المدثر # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< ذرني ومن خلقت وحيدا >! 11 المدثر 74 يعني به الوليد بن المغيرة المخزومي نسخت بآية السيف # 75 سورة القيامة # مكية وجميعها محكم غير قوله تعالى !< لا تحرك به لسانك لتعجل به >! 16 القيامة 75 معناها لا لفظها بقوله !< سنقرئك فلا تنسى >! 6 الأعلى 87 # 76 سورة الإنسان # مدنية وفيها اختلاف وجميعها محكم غير آيتين إحداهما قوله تعالى !< فاصبر لحكم ربك ولا تطع منهم آثما أو كفورا >! 24 الإنسان 76 نسخت بآية السيف # الآية الثانية قوله تعالى !< إن هذه تذكرة فمن شاء اتخذ إلى ربه سبيلا >! 29 الإنسان 76 نسخ التخيير بآية السيف
# 77 سورة المرسلات # مكية وجميعها محكم # 78 سورة النبأ # مكية وجميعها محكم # 79 سورة النازعات # مكية وجميعها محكم # 80 سورة عبس # مكية وجميعها محكم إلا قوله تعالى !< كلا إنها تذكرة فمن شاء ذكره >! الآية 11 12 عبس 80 نسخت بقوله !< وما تشاؤون إلا أن يشاء الله رب العالمين >! 29 عبس 80 # 82 سورة الانفطار # مكية وجميعها محكم # 83 سورة المطففين # نزلت في الهجرة بين مكة والمدينة وجميعها محكم
# 86 سورة الطارق # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< فمهل الكافرين أمهلهم رويدا >! 17 الطارق 86 نسخت بآية السيف # 87 سورة الاعلى # مكية وجميعها محكم فيها ناسخ وليس فيها منسوخ فالناسخ قوله تعالى !< سنقرئك فلا تنسى >! 6 الاعلى 87 # 88 سورة الغاشية # مكية وفيها آية منسوخة وهي قوله تعالى !< لست عليهم بمصيطر >! 22 الغاشية 88 نسخت بآية السيف # 89 سورة الفجر # مكية وجميعها محكم # 90 سورة البلد # مكية وجميعها محكم # 91 سورة الشمس # مكية وجميعها محكم # 92 سورة الليل # مكية وجميعها محكم
# 93 سورة الضحى # مكية وجميعها محكم # 94 سورة ألم نشرح لك # مكية وجميعها محكم # 95 سورة التين # مكية وجميعها محكم غير آية واحدة وهي قوله تعالى !< أليس الله بأحكم الحاكمين >! 8 التين 95 نسخ معناها بآية السيف # 96 سورة القلم # مكية وجميعها محكم # 97 سورة القدر # مدنية وجميعها محكم # 98 سورة لم يكن # مدنية وجميعها محكم # 99 سورة الزلزلة # مدنية وجميعها محكم
# 100 سورة العاديات # مكية وجميعها محكم # 101 سورة القارعة # مكية وجميعها محكم # 102 سورة التكاثر # مكية وجميعها محكم # 103 سورة العصر # مكية وجميعها محكم وفيها اختلاف والمنسوخ فيها آية واحدة وهي قوله تعالى !< إن الإنسان لفي خسر >! 2 العصر ثم نسخت بالاستثناء بقوله !< إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات >! 3 العصر 103 # 104 سورة الهمزة # مكية وجميعها محكم # 105 سورة الفيل # مكية وجميعها محكم # 106 سورة قريش # مكية وجميعها محكم # 107 سورة الدين # نصفها مكي ونصفها من أولها إلى قوله !< ولا يحض على طعام المسكين >!
3 الماعون 107 نزل بمكة في العاص بن وائل السهمي وإلى آخرها نزل بالمدينة في عبد الله بن أبي سلول رأس المنافقين وجميعها محكم # 108 سورة الكوثر # مكية وجميعها محكم # 109 سورة الكافرون مكية فيها آية واحدة منسوخة وهي قوله تعالى !< لكم دينكم ولي دين >! نسخت بآية السيف # 110 سورة النصر # مدنية وجميعها محكم # 111 سورة تبت # مكية وجميعها محكم # 112 سورة الإخلاص 113 الفلق 114 الناس # اختلف المفسرون في تنزيلهن فقال بعضهم هي مدنيات وقال الضحاك والسدي هن مكيات وكلهن محكم ليس فيهن ناسخ ولا منسوخ والله أعلم


An-Naskh (النَّسْــخ) / Nasikh-Mansukh
Posted on 11 April 2007 by Abu Hammad al-Jakarti
An-Naskh (النَّسْــخ)
Oleh : asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin –rohimahulloh-


Definisinya :

Naskh secara bahasa : Penghilangan (الإزالة) dan Pemindahan (النقل).
Secara istilah :

رفع حكم دليل شرعي أو لفظه بدليل من الكتاب والسنة

“Terangkatnya (dihapusnya, pent) hukum suatu dalil syar’i atau lafadznya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Yang dimaksud dengan perkataan kami : (رفع حكم) ” Terangkatnya hukum” yakni : perubahannya dari wajib menjadi mubah atau dari mubah menjadi haram misalnya.

Keluar dari hal tersebut perubahan hukum karena hilangnya syarat atau adanya penghalang, misalnya terangkatnya kewajiban zakat karena kurangnya nishob atau kewajiban sholat karena adanya haid, maka hal tersebut tidak dinamakan sebagai naskh.
Dan yang dimaksud dengan perkataan kami : (أو لفظه) “atau lafadznya” : lafadz suatu dalil syar’i, karena naskh bisa terjadi pada hukumnya saja tanpa lafadznya, atau sebaliknya, atau pada keduanya (hukum dan lafadznya) secara bersamaan sebagaimana yang akan datang.

Keluar dari perkataan kami : (بدليل من الكتاب والسنة) “dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah” : apa yang selain keduanya dari dalil-dalil syar’i, seperti ijma’ dan qiyas maka suatu dalil tidak bisa di-naskh dengan keduanya.

Naskh itu boleh secara akal dan terjadi secara syar’i.

Adapun kebolehannya secara akal : karena di tangan Alloh-lah semua perkara, dan milik-Nyalah hukum, karena Dia adalah Ar-Robb Al-Malik, maka Alloh berhak mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya apa-apa yang menjadi konsekuensi hikmah dan rahmat-Nya. Apakah tidak masuk akal jika al-Malik memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Kemudian konsekuensi hikmah dan rahmat Alloh ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan kepada mereka dengan apa-apa yang diketahui-Nya bahwa di dalamnya dapat tegak maslahat-maslahat agama dan dunia mereka. Dan maslahat-maslahat berbeda-beda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain adalah lebih bermaslahat, dan Alloh Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Adapun terjadinya naskh secara syar’i, dalil-dalilnya adalah :

1. Firman Alloh ta’ala:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا

“Ayat mana saja yang Kami naskh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” [QS. al-Baqoroh : 106]

2. Firman Alloh ta’ala:

الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُم

“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu” [QS. al-Anfal : 66]

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنّ

“Maka sekarang campurilah mereka” [QS. al-Baqoroh : 187]

Maka ini adalah nash tentang terjadinya perubahan hukum yang sebelumnya.

3. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها” فهذا نص في نسخ النهي عن زيارة القبور

“Aku dahulu melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) berziarahlah” [HR. Muslim]

Ini merupakan nash tentang dinaskh-nya larangan menziarahi kubur.


***
>>Bersambung -insyaAlloh-<<

[Diterjemahkan dari kitab al-Ushul min 'Ilmil Ushul karya asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin]

· Share this:
· Share
·
·
·
·
·
·
·
Filed under: Ushul Fiqh Ditandai: | al-Ushul min Ilmil Ushul, Nasikh Mansukh, Ushul Fiqih
« Seseorang itu bersama orang yang ia cintai DALIL YANG TIDAK BISA DI-NASK »

ULUMUL QUR'AN (NASIKH DAN MANSUKH)
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Allah menurunkan syari’at samawiyah kepad RasulNya adalah untuk memperbaiki umat di bidang aqidah, ibadah dan muamalah. Sesungguhnya aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan, maka dakwah atau seruan para Rasul kepada aqidah yang satu pun sama. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“ Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyuhkan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al-Anbiya’:25)
Dalam bidang ibadah dan mu’amalah, prinsip dasar umumnya adalah sama yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat, serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Akan tetapi tuntutan dan kebutuhan antara umat yang satu dengan yang lainnya tidak sama, hal ini dikarenakan perjalanan dakawah dan taraf pertumbuhan serta pembentukan yang tidak sama . begitu pula hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syari’at adalah Allah SWT yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu begitu pula terhadap otoritas perintah dan larangan-Nya.
Oleh karena itu sangatlah wajar jika kemudian Allah menghapuskan suatu syari’at dengan syari’at yang lain demi menjaga kemaslahatan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan kemudian.

1.2 Rumusan Masalah
a). Bagaimana pengertian Nasakh dan Mansukh
b). Apakah syarat-syarat nasakh
c). Apa saja jenis-jenis naskah
d). Apa saja macam-macam nasakh dalam Al-Qur’an
e). Hikmah apa yang ada pada nasakh
1.3 Tujuan
a). Mengetahui pengertian Nasakh dan mansukh
b). Mengetahui syarat-syarat nasakh
c). Mengetahui jenis-jenis nasakh
d). Mengetahui macam-macam nasakh yang ada dalam Al-Qur’an
e). Mengetahui hikmah yang ada dalam Nasakh


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh
Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk perubahan dari kata nasakh, masdar dari kata kerja nasakha. Kata nasakh sendiri mempunyai banyak makna. Ia bisa berarti menghilangkan (al-izalah), sebagai terdapat dalam QS. Al-Hajj ayat 52
(وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ وَلاَ نَبِيٍّ إِلاَّ إِذَ ا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطنُ فِى أُمْنِيَّتِهِ ۚ فَيَنْسَخُ مَا يُلْقَى الشَّيْطنُ ثُمَّ يُحْكِمُ الله آيتِهِ ۗۗ وَالله عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ)
(dan kami tidak mengutus seorang rasul da tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu. Dan Allah akan menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana).
bisa berarti menggantikan (al-tabdil), sebagai terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 101;
( وَإِذَا بَدَّلْنَا آيةٍ مَكَانَ ايةٍ ,,,,)
( Dan apabila kami mengganti ayat yang satu dengan ayat yang lain,,,,)
Juga bisa berarti pengalihan (al-tahwil), sebagai yang berlaku dalam ilmu faraidh(pembagian harta warisan).
Bisa juga berarti mengutip atau memindahkan (al-naql), seperti kalimat nasakhtu al-kitab, berarti saya mengutip isi buku, dalam ayat al-qur’an surat al jatsiyah ayat 29:
إِنَّا كُنَّا نَسْتَْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
( sesungguhnya kami menyuruh untuk menasakh apa dahulu kalian kerjakan),Maksudnya kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.
Dari definisi yang telah disebutkan, disini jelas bahwa nash mempunyai makna yang banyak, akan tetapi diantara makna-makna tersebut yang paling mendekati kebenaran adalah bermakna al-izalah menghilangkan).
Sedangkan pengertian menurut istilah adalah (رفع شيئ وإثبات غيره مكانه )
( mengangkat (menghapuskan) sesuatu dan menetapkan yang lain pada tempatnya)
Dalam kalimat lainnya ialah mengangkat (menghilangkan) hukum syara’ dengan dalil hukumnya syara’ yang lain. disebutkan kata hukum disini menunjukkan prinsip bahwa segala ” sesuatu hukum asalnya adalah boleh ” tidak termasuk yang dinasakh.
Kata nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah ( yang menghapus hukum itu. Seperti firmannya dalam surat al-baqarah : 106:
مَا نَنْسَخُ مِنْ آيةٍ
“ Dan tidaklah Kami menghapus suatu ayat………”
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus. Maka ayat mawaris (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya misalnya adalah penghapusan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat sebagaimana akan dijelaskan.


2.2 Syarat-syarat Nasakh
Dalam nasakh terdapat syarat-syarat yang harus diketahui yaitu:
1. Hukun yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’i
3. Khitab yang dihapus atau yang diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.

2.3 Jenis-jenis nasakh
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Misalnya ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari
2. Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah :
a. Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.akan tetapi jumhurul ulama sepakat bahwa ini tidak berlaku karna Al-Qur’an adalh mutawatir
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir, nasakh semacam ini diperbolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
3. Nasakh Al-Sunnah dengan Al-Qur’an, ini dibolehkan oleh jumhur sebagaimana masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As-Sunnah dan didalam Al-Qur’an tidak terdapat dalia yang menunjukkannya. Ketetapan ini kemudian di nasakh oleh Al-Qur’an dengan firman-Nya:
” Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram” (Al-baqarah:144)
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Imam Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu di dukung oleh Al-Qur’an dan apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur’an tentu pula didukung oleh As-Sunnah. Hal ini karena Al-Qur’an dan As-Sunnah harus senatiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Dalam hal ini ada empat bentuk yaitu:
a. nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. nasakh ahad dengan ahad
c. nasakh ahad dengan mutawatir
d. nasakh mutawatir dengan ahad
tiga bentuk pertama diperbolehkan sedangkan yang ke empat terjadi silang pendapat.

2.4 Macam-macam nasakh dalam Al-Qur’an
Menurut al-Zarkasyi, ada tiga macam nasakh, khususnya daris segi tilawah (bacaan) dan hukumnya.
1. Nasakh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus,
yaitu bacaan dan tulisan ayatnya pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan diganti dengan hukum yang baru.
Misalnya penghapusan ayat tentang keharaman kawin dengan saudara satu susuan karena sama-sama menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan dengan lima kali susuan saja.

2. Nasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya,
yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca sedangkan isi hukumnya sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan. Misalnya pada surat al-Baqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus ber’iddah selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama ‘iddah satu tahun. Ketentuan hukum ayat tersebut dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah , sehingga keharusan ‘iddah satu tahun tidak berlaku lagi.
3. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya.
Yaitu tulisan ayatnya sudah dihapus sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Sebagaimana hadiast Umar bin khatahab dan ubay bin Ka’ab:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنيَا فَارْجُمُوْهُمَا اَلْبِتَةً نَكَالاً مِنَ الله ولله عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“ Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana “

Nasakh dengan pengganti dan tanpa pengganti:
Secara umum, bahwa adanya nasakh ini menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan syariat paling sempurna yang menasakh syariat-syariat yang datang sebelumnya. Karena syariat Islam berlaku untuk semua situasi dan kondisi, maka adanya nasakh berfungsi untuk menjaga kemaslahatan umat
1. Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap suatu hukum tetapi tidak ditentukan hukum lain sebagai pennggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah berubah.
Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah:
” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menghadap lalu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu” (Al-Mujadalah:12)
Ketentuan ini dinasakh dengan firman-Nya:
” Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sholat, tunaikan zakat..”(Al-Mujadalah: 13)

2. Nasakh dengan pengganti yang seimbang
Nasakh disamping menghapuskan suatu ketentuan juga menentukan hukum baru sebagai penggantinya. Penggantinya itu sering seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapusnya. Misalnya nasakh dari sholat menghadap ke Baitul al-Muqaddas yang beralih menghadap ke Baitil Haram (ka’bah)
3. Nasakh dengan pengganti yang lebih berat, misalnya penghapusan hukuman penahan di rumah (terhadap wanita yang berzina).
” dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi dari pihak kamu(untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurungkanlah mereka (wanita-wanita itu) di dalam rumah” ( An-Nisa’:15)
Ayat ini kemudian dinasakh dengan ayat:
” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka cambuklah setiap ortang dari mereka 100 kali cambukan....(An-nur: 2)
4. Nasakh dengan pengganti yang lebih ringan, misalnya:
” Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...(Al-Baqarah: 183)
Ayat tersebut kemudian dinasakh dengan ayat sebagai berikut:
” Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa dengan istri-istrimu...(Al-Baqarah: 187)
Hal-hal yang mengalami nasakh:
Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan , baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yanng bermakna amr (perintah) atau nahy (larangan).

Bagaimana cara mengetahui nasikh dan mansukh :
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat
2. Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan datang berdasarkan sejarah
2.5 Hikmah Nasakh
Adapun hikmah yang terdapat pada nasakh adalah sebagai berikut:
1. Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
2. Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin“, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
3. Memelihara kemaslahatan hamba
4. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam
5. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
6. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Makalah yang kami tulis ini untuk membahas pengertian tentang nasakh dan mansukh karena ternyata banyak pengertian yang ada di dalamnya, juga berkenaan dengan macam – macam nasakh dalam Al-Qur’an dan begitu pula jenis-jenis nasakh yang ada.
Kendati banyak para ulama yang berselisih pendapat mengenai diperbolehkannya nasakh dan mansukh akan tetapi perlu diketahui bahwa seiring dengan perkembangan dakwah dan kemajuan zaman serta pergantian kaum yang satu dengan yang lainnya maka hukum syar’i menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada.
Banyak hikmah yang dapat dipetik setelah mempelajari nasakh dan mansukh, sehingga setelah mengetahui lebih dalam lagi maka kita makin kuat keimanan kita dan kepercayaan kita bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya.

3.2 Kritik dan Saran
Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak terjadi kesalahan dan kekurangan, kami menyadari bahwa kami masih dalam proses belajar dan sedang menuju yang lebih baik. Oleh sebab itu dukungan saran dan kritik serta uluran maaf sangat kami harapkan demi kebaikan kita bersama.
إلِىَ الله نَشْكُوْ أَنَّ فِيْنَا مَرُوْمًا نَنْتَهِىْ بِهِ إِلىَ حُسْنِ الْخِتَامِ

Assalamualaikum wrm. wbr.

Saya mempunyai masalah tentang ayat nasikh dan juga mansukh.

1) Apakah ayat yang memansukhkan itu dari segi maknanya atau keseluruhan
ayat tersebut?

2) Bolehkah terus mambaca ayat yang dimansukhkan didalam bacaan solat
mahupun pengajian Al-Quran

Contoh:

Surah Al Kaafirun (109:6) - mansukh
Surah 9:29 - nasikh

Memerlukan pertolongan.

HADITS NASIKH DAN MANSUKH
Definisi
Naskh menurut bahasa mempunyai dua makna, yaitu : menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain.
Sedangkan menurut istilah, naskh adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap Syari’at terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.
Bagaimana Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh ?
Nasikh dan mansukh dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut :
· Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau : “Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
· Perkataan shahabat.
· Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus : “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas : Nabi shalallahu alaihi wasalam : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wadai tahun 10 hijriyah.
· Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi : “Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh.
Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh sebab itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.
Mereka mendefinisikannya sebagai berikut : “Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh, dan hadits yang datang kemudian menjadi nasikh“.
Karya-Karya yang Disusun Tentang Nasikh dan Mansukh
Sebagian ulama menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam hadits, diantaranya :
· An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
· Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
· Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad.
· Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
· An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.
Sumber :
Ditulis oleh Abu Al Jauzaa
Komentar (1)
Like
Be the first to like this post.
1 Komentar »
1.
Mungkin masih berhubungan dengan tema Nasikh Mansukh. Bukan di Ilmu Hadits secara khusus, namun ditinjau dari dzat Nasikh-Mansukhnya itu sendiri :
TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 106 : NASIKH WA MANSUKH
Oleh : Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqaraha : 106).
Mengenai firman Allah { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما , ia mengatakan : Artinya : ما نبدل من آية = “yang Kami (Allah) gantikan”.
Masih mengenai ayat yang sama, dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, maksudnya adalah ما نمحو من آية = “ayat mana saja yang Kami (Allah) hapuskan”.
Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia menuturkan : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, artinya : نثبت خطها ونبدل حكمها = “Kami (Allah) biarkan tulisannya, tetapi Kami ubah hukumnya”. Hal itu diriwayatkan dari beberapa shahabat Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه.
{ مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, As-Suddi mengatakan : نسخها قبضها “Nasakh berarti menarik (menggenggamnya)”.
Sedangkan Ibnu Abi Hatim mengatakan : قبضها ورفعها “yaitu menggenggam dan mengangkatnya”; sebagaimana firman-Nya { «الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة»} ”Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya”. Demikian juga firman-Nya : { «لو كان لابن آدم واديان من ذهب لابتغى لهما ثالثاً» } ”Seandainya Ibnu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga”.
Masih berhubungan dengan firman-Nya : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ} ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”, Ibnu Jarir mengatakan, artinya : Hukum suatu ayat yang Kami (Allah) pindahkan kepada lainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yanghalal menjadi haram dan yang haram menjadi halal, yang boleh menjadi tidak boleh, dan yang tidak boleh menjadi boleh. Dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam hal perintah, larangan, keharusan, muthlaq, dan ibahah (kebolehan). Sedangkan ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah-kisah tidak mengalami nasikh maupun mansukh.
Kata an-naskhu ( النسخ) berasal dari naskhul-kitaab ( نسخ الكتاب ), yaitu menukil dari suatu naskah ke naskah lainnya ( وهو نقله من نسخة إلى أخرى غيرها ). Demikian halnya naskhul-hukmi ( نسخ الحكم ), berarti penukilan dan pemindahan redaksi ke redaksi yang lain, baik yang dinasakh itu hukum mapun tulisannya, karena keduanya tetap saja berkedudukan mansukh (dinasakh).
Firman-Nya { أَوْ نُنسِهَا} ”Atau Kami jadikan lupa”. Bisa dibaca dengan (salah satu dari) dua bacaan, yaitu nansa-ahaa ( ننسأها) dan nunsihaa ( ننسها ).
ننسأها berarti nu-akhkhiruhaa ( نؤخرها).
Mengenai firman Allah ta’ala : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا}, Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما , ia mengemukakan, (artinya) : يقول ما نبدل من آية أو نتركها لا نبدلها Allah berfirman,”Ayat-ayat yang Kami rubah atau tinggalkan, tidak Kami ganti”.
Sedangkan Mujahid meriwayatkan dari beberapa shahabat Ibnu Mas’ud رضي الله عنه, أو ننسأها berarti : نثبت خطها ونبدل حكمها “Kami tidak merubah tulisannya dan hanya merubah hukumnya saja”.
‘Athiyah Al-‘Aufi mengatakan nunsi-uhaa { أو ننسأها}, (berarti) : نؤخرها فلا ننسخها “Kami akhirkan ayat tersebut dan Kami tidak menghapusnya”.
Masih berkaitan dengan ayat { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا}, Adl-Dlahhak mengatakan : الناسخ والمنسوخ “yaitu nasikh dari yang mansukh”.
Mengenai bacaan au nunsihaa { أو ننسها}, ‘Abdur-razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya : { مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا}, ia mengatakan : كان الله عز وجل: ينسي نبيه صلى الله عليه وسلم ما يشاء, وينسخ ما يشاء “Allah subhanaahu wata’ala menjadikan Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam lupa dan menasakh ayat sesuai dengan kehendak-Nya”.
Ubaid bin ‘Umair mengatakan au nunsihaa { أو ننسها}, berarti : نرفعها من عندكم “Kami mengangkatnya dari kalian”.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما , ia menceritakan :
قال عمر: أقرؤنا أبيّ وأقضانا علي, وإِنا لندع من قول أبي, وذلك أن أبيا يقول: لا أدع شيئاً سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم, وقد قال الله: {ما ننسخ من آية أو ننسها} وقوله: {نأت بخير منها أو مثلها}, أي في الحكم بالنسبة إلى مصلحة المكلفين
“Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu mengatakan,”Orang yang terbaik bacaannya di antara kami adalah Ubay dan yang paling ahli dalam hukum adalah ‘Ali, dan kami akan meninggalkan kata-kata ‘Ubay dimana ia mengatakan : ‘Aku tidakakan meninggalkan sesuatu apapun yang aku dengan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam’; padahal Allah ta’ala telah berfirman : مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا ”Ayat mana saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya” dan firman-Nya : { نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا } ”Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya”. Yaitu hal hukum yang berkaitan dengan kepentingan para mukallaf”.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas,mengenai firman-Nya : { نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا } ”Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya”, ia mengatakan : “Yaitu memberi manfaat yang lebih baik bagi kalian dan lebih ringan” ( خير لكم في المنفعة وأرفق بكم.).
Masih mengenai firman-Nya { نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا } ”Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya”; Qatadah mengatakan : “Yaitu ayat yang di dalamnya mengandung pemberian keringanan, rukhshah, perintah, dan larangan”.
Dan firman Allah ta’ala :
ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير * ألم تعلم أن الله له ملك السموات والأرض وما لكم من دون الله من ولي ولا نصير
”Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan dan bumi adalah milik kepunyaan Allah? Dan tidak ada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong”
Imam Abu Ja’far bin Jarir rahimahullah mengatakan,”Penafsiran ayat tersebut adalah sebagai berikut : ‘Hai Muhammad, tidakkah engkau mengetahui bahwa hanya Aku (Allah) pemilik kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi. Di dalamnya Aku putuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Ku, dan di sana Aku mengeluarkan perintah dan larangan, dan (juga) menasakh, mengganti, serta merubah hukum-hukum yang Aku berlakukan di tengah-tengah hamba-Ku sesuai kehendak-Ku, jika Aku mengehendaki”.
Lebih lanjut Abu Ja’far mengatakan,”Ayat tersebut meskipun diarahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu keagungan Allah ta’ala, namun sekaligus hal itu dimaksudkan untuk mendustakan orang-orang Yahudi yang mengingkari nasakh (penghapusan) hukum-hukum Taurat dan menolak kenabian ‘Isa ‘alaihis-salam dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Karena keduanya datang dengan membawa beberapa perubahan dari sisi Allah ‘azza wa jall untuk merubah hukum-hukum Taurat. Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi ini hanyalah milik-Nya, semua makhluk ini berada di bawah kekuasaan-Nya. Mereka harus tunduk dan patuh menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dia mempunyai hak memerintah dan melarang mereka, menasakh, menetapkan, dan membuat segala sesuatu menurut kehendak-Nya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Penulis (Ibnu Katsir) katakan,”Yang membawa orang Yahudi membahas masalah nasakh ini adalah semata-mata karena kekufuran dan keingkarannya terhadap adanya nasakh tersebut. Menurut akal sehat, tidak ada suatu hal pun yang melarang adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah ta’ala, karena Dia dapat memutuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana Dia juga dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Yang demikian itu juga telah terjadi di dalam kitab-kitab dan syari’at-syari’at-Nya yang terdahulu. Misalnya, dahulu Allah ta’ala membolehkan Nabi Adam mengawinkan putrinya dengan putranya sendiri. Tetapi setelah itu Dia mengharamkan hal itu. Dia juga membolehkan Nabi Nuh setelah keluar dari kapal untuk memakan semua jenis hewan, tetapi setelah itu Dia menghapus penghalalan sebagiannya. Selain itu, dulu menikahi dua saudara puteri itu diperbolehkan bagi Israil (Nabi Ya’qub) dan anak-anaknya, tetapi halitu diharamkan di dalam syari’at Taurat dan kitab-kitab setelahnya. Dia juga pernah menyuruh Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam menyembelih puteranya, tetapi kemudian Dia menasakhnya sebelum perintah itu dilaksanakan. Allah ta’ala juga memerintahkan mayoritas Bani Israil untuk membunuh orang-orang diantara mereka yang menyembah anak sapi, lalu Dia menarik kembali perintah pembunuhan tersebut agar tidak memusnahkan mereka.
Di samping itu, masih banyak lagi hal-hal yang berkenaan dengan masalah itu, orang-orang Yahudi sendiri mengakui dan membenarkannya. Dan jawaban-jawaban formal yang diberikan berkenaan dengan dalil-dalil ini, tidak dapat memalingkan sasaran maknanya, karena demikian itulah yang dimaksudkan. Dan sebagaimana yang masyhur tertulis di dalam kitab-kitab mereka mengenai kedatangan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan perintah untuk mengikutinya. Hal itu memberikan pengertian yang mengharuskan untuk mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan bahwa suatu amalan tidak akan diterima kecuali yang didahulukan berdasarkan syari’atnya, baik dikatakan syari’atnya terdahulu itu terbatas sampai pengutusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka yang demikian itu tidak disebut sebagai nasakh. Hal itu didasarkan oleh firman-Nya { ثم أتموا الصيام إلى الليل} ”Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam”. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa syari’at itu bersifat mutlaq, sedangkan syari’at Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam menasakhnya. Bagaimanapun adanya, mengikutinya (Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam) merupakan suatu keharusan, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam datang dengan membawa sebuah kitab yang merupakan kitab terakhir dari Allah ta’ala.
Dalam hal ini, Allah ta’ala telah menjelaskan dibolehkannya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi – la’natullaahi ‘alaihim – dimana Dia berfirman { ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير * ألم تعلم أن الله له ملك السموات والأرض } ”Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?”
Sebagaimana Dia mempunyai kekuasaan tanpa ada yang menandinginya, demikian pula halnya Dia yang berhak memutuskan hukum menurut kehendak-Nya. { ألا له الخلق والأمر} ”Ketahuilah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (QS. Al-A’raf : 54). Dan di dalam surat Aali Imran yang mana konteks pembicaraan pada bab awal surat tersebut ditujukan kepada Ahlul-Kitab juga terdapat nasakh : { كل الطعام كان حلاً لبني إسرائيل إلا ما حرم إسرائيل على نفسه } ”Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya’qub) untuk dirinya sendiri”. Sebagaimana penafsiran ayat ini akan kami sampaikan pada pembahasan selanjutnya.
Kaum muslimin secara keseluruhan sepakat membolehkan adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah ta’ala, karena di dalamnya terdapat hikmah yang sangat besar. Dan mereka semua mengakui terjadinya nasakh tersebut.
Seorang mufassir, Abu Muslim Al-Asbahani mengatakan : “Tidak ada nasakh dalam Al-Qur’an”. Pendapat Abu Muslim itu sangat lemah dan patut dotolak. Dan sangat mengada-ada dalam memberikan jawaban berkenaan dengan terjadinya nasakh. Misalnya (pendapat) mengenai masalah ‘iddah seorang wanita yang berjumlah empat bulan sepuluh hari setelah satu tahun. Dia tidak dapat memberikan jawaban yang diterima. Demikian halnya masalah pemmindahan Kiblat dari Baitul-Maqdis ke Ka’bah, juga tidak memberikan jawaban sama sekali. Juga penghapusan kewajiban bersabar menghadapi kaum kafir satulawan sepuluh menjadi satu lawan dua. Dan juga penghapusan (nasakh) kewajiban membayar sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan lain-lain.
والله أعلم
Komentar oleh Abu Al-Jauzaa' — Mei 13, 2008 @ 12:46 pm
Balas
Nasikh dan Mansukh
Pengertian Nasikh dan Syarat-syaratnya
Pedoman Mengetahui Nasikh
Pengertian Mansukh
Macam-macam Naskh dalam Al-Qur’an serta Hikmahnya
Tujuan Nasakh
Allah SWT menurunkan Syari’at as-samawi kepada para Rasul-Nya untuk memperbaiki umat dalam bidang aqidah, ibadah dan mua’malah. Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakan atas dasar yang sama yaitu, atas dasar tauhid uluhiyyah dan rububiyah, maka da’wah atau seruan yang disampaikan para rasul adalah sama ( Q.S : al-Anbiya’ : 25 ). Yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta meningkatkan dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.
Pengertian Nasikh dan Syarat-syaratnya
Definisi naskh secara bahasa, ( menurut Raghib al-Asfahani w. 502 H ), adalah ( menghilangkan sesuatu dengan yang lain yang datang kemudian ). Oleh karena itu terdapat beberapa definisi secara bahasa, yaitu :
Naskh berarti izalah ( menghilangkan ). Sebagaimana Firman Allah SWT, surat al-Hajj : 52.
( فَيَنسَخُ اللهُ مَايُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللهُ ءَايَاتِهِ )
“ Allah SWT menghilangkan apa yang dimasukkan syaithan dan Allah yang menguatkannya “ ( Al-Hajj : 52 ).
Pengertian Nasikh
Nasakh juga ber tabdil ( mengganti ), sebagaimana disebutkan secara naskh, surat an-Nahl : 101. ( وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَايُنَزِّل ُ ) “ Dan apabila kami meletakan suatu ayat ditempat ayat yang alain, sebagai pengganti, padahal Allah SWT lebih mengetahui apa yang diturunkannya “. Seperti menghapus tilawah dan hukumnya.
Naskh berarti tahwil ( memindahkan ) yaitu seperti memindahkan dari nishab yang satu ke nishab yang lain dalam pembagian warisan.
Naskh berarti naql ( memindahkan ), memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti memindahkan catatan amal. Sebagaimana nash dalam al-Qur’an QS. Jasiyah : 29.( إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَاكُنتُمْ تَعْمَلُونَ ), ( Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan" ).
Sedangkan Naskh menurut istilah ( ulama ) adalah : mengangkat ( menghapus ) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain, yang datang kemudian. Sehingga kata nasikh ( yang menghapus ) dapat dimaksudkan adalah Allah, sebagaimana surat Al-Baqarah : 106
مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Syarat-syarat Nasakh
a. hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b. dalil yang menghapus hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang kemudian dari yang hukum yang mansukh.
c. Khitab yang mansukh humkumnya tidak terikat ( dibatasi ), dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu, dan yang demikian tidak dinamakn nasikh.
Ruang lingkup Naskh
Imam Suyutti mengatakan ; Bahwa naskh hanya terjadi pada perintah( amr ), dan larangan ( nahyi ), baik yang diungkap dengan redaksi sharikh ( tegas ) atau yang tidak tegas,
Atau yang diungkap dengan kalimat berita ( khabar ), yang bermakna amr ( perintah ), atau yang bermakna nahy ( larangan ),
Dan persoalan tersebut di atas, tidak berhubungan dengan persoalan, akidah, baik mengenai Dzat Allah dan sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat, janji dan ancaman, dan tidak bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan mua’malah, karena syari’at
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ .
Artinya : “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. ِAs-Syuraa: 13)
Pedoman mengetahui Nasikh dan Mansukh
a. Berupa keterangan dari Nabi SAW, seperti hadits tentang “ larangan ziarah kubur, kemudian rasul membolehkannya.
b. Ijma ulama yang menentukan ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian dalam persfekti sejarah.
Jumhur Ulama
Mereka berpendapat naskh adalah suatu hal yang dapat diteima dengan akal, dan telah terjadi secara syara’ telah terjadi.berdasarkan dalil-dalil, sebagai berikut :
Perbuatan Allah tidak tergantung kepada alasan dan tujuan, Ia boleh saja memerintahkan pada suatu waktu dan boleh juga melarang pada suatu waktu yang lain.
Nas-nas dan sunnah menunjukan kebolehan dan telah terjadi diantaranya : Firman Allah Surat An-Nahl : 101, juga Surat Al-Baqarah : 106. Dan juga ar-Ra’du : 39
Firman Allah SWT :
وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَايُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَآ أَنتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْلَمُونَ * - النحل :101
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui aapa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. 16:101)
Dan Firman Allah :
مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىكُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ * - البقرة : 106-
Artinya : Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2:106)
Dan Firman Allah SWT :
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثَبِّتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Pembagian Nasikh dan Mansukh

Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat bagian :
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ( Nasakh semacam ini disepakati kebolehannya oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum ), seperti ayat tetang idah yang masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari. QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ – البقرة : 240 -
ِArtinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)
Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * - البقرة : 234 -
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)
Dan hukum tersebut bagi yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh denga ayat Al-Thalaq : 4
وَالاَّئِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا – الطلاق : 4 -
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. 65:4)
2. Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. (Dalam hal ini para ulama membatasi hanya denga sunnah mutawatiroh, sebagaimana menurut imam Maliky, Abu Hanifah, mazhab al-Asy’ary dan Mu’tazilah), dan naskh ini ditolak oleh mazhab syafi’ih, dengan alasan ayat Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Qur’an tidak lebih baik kedudukannya dengan as-sunnah.
3. Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. (Naskh dalam semacam ini disepakati oleh jumhur ulama, dalam hal ini nabi memrintahkan kaum muslimin dalam menghadap kiblat Baitul Maqdis kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dalam surat al Baqarah ; 144) atau kewajiban puasa Asyura’, yang ditetapkan berdasarkan Sunnah kemudian dinaskh oleh firman Allah QS. Al-Baqarah : 185.
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ * - البقرة : 144 –
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah /2:144)
4. Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.
Dalam katagori ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
1. Naskh mutawwatir dengan mutawatir,
2. Naskh ahad dengan ahad,
3. Naskh ahad dengan mutawatir,
4. Naskh mutawatir dengan ahad
Dan ulama menyepakati dalam tiga bentuk yang pertama, sedang bentuk keempat dalam perselisihan pendapat.
Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Macam-macam naskh dalam katagori ini ada tiga macam, yaitu :
Pertama : Naskh tilawah dan juga hukumnya. seperti apa yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan lainnya, dari Aisyah, ia berkata :
كان فيما أنزل عشر رضعاتٍ معلوماتٍ يحرمن فنسخنَ بخمس معلوماتٍ فتوفى رسول الله صلى الله عليه وسلم ( وهنّ مما يقرأ من القرأن ).
“ diantara yang diturunkan kepada beliau adalah 10 susuan yang ma’lum ……..”
Kedua : Naskh Hukum sedangkan tilawahnya tetap.
Contohnya tentang idah selama satu tahun sedang tilawahnya tetap, yaitu QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ * - البقرة : 240 –
Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah /2:240)
Dinaskh dengan ayat idah empat bulan sepuluh hari, QS. Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ * - البقرة : 234 –
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah /2 : 234)

Ketiga : Naskh tilawah sedangkan hukumnya tetap.
Dalam hal ini berkenaan tentang ayat rajam,
الشيخُ والشيخةُ إذاَ زَنيا فارْجُموُهماَ البتةَ نكالاً منَ اللهِ واللهُ عَزيْزٌ حَكيْمٍ
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah SWT, dan Allah Maha kuasa dan Maha Bijaksana “.
Contoh lain dalam hal ini :
Tentang diwajibkannya wasiat bagi orang tua yang meninggal, dalam ayat Al Baqarah : 180, tetapi hal ini dinaskh dengan ayat mawaris
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتَ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ * - البقرة : 180 –
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS.Al-Baqarah / 2:180)
“ tidak ada wasiat bagi ahli waris “…..Ijma’ Ulama.
Tentang Ayat Mawaris, Surat An-Nisa’ : 11, dengan an-Nisa’ : 12, juga dinaskh dengan al Baqarah : 176
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَاتَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدُُ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدُُ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمَّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآأَوْدَيْنٍ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَتَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا * النساء : 11 –
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 4:11)
Surat An-Nisa’ : 176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدُُ وَلَهُ أُخْتُُ فَلَهَا نِصْفُ مَاتَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدُُ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِن كَانُوا إِخْوَةً رِّجَالاً وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمُُ * - النساء : 176 –
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah:"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa’ / 4:176)
Bahwa Allah SW Dengan Sunnah, Bahwa Allah SWY telah memberikan bagian bagi yang berhak menerimanya, tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Macam-macam Naskh
Macam-macam naskh berpengganti dan tidak berpengganti.
1. Naskh tanpa badal ( pengganti ), contoh, penghapusan besedekah sebelum berbicara kepada rasulullah, sebagaimana diperintahkannya dalam surat Al-Mujadilah : 12.
•يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ * - المجادلة : 12 –
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mujadilah /58:12)
Ayat diatas, dinaskh dengan ayat al-Mujadilah : 13.
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ * - المجادلة : 13 –
Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:13)
2. Naskh dengan badal akhaf ( lebih ringan ), contohnya puasa masa dahulu, dalam Surat Al-Baqarah : 183 ( ayat Puasa ). Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ * - البقرة : 187 –
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu ( Al-Baqarah / 2 : 187 )
3. Naskh dengan badal mumatsil ( sebanding ), Contohnya, tahwil kiblat, menghapus menghadap bait al-maqdis dengan menghadap kiblat ke ka’bah. Dengan firman Allah surat Al-Baqarah : 144
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ - البقرة : 144 –
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. ( Al-Baqarah / 2 : 144 )
4. Naskh dengan badal astqal ( lebih berat ), contohnya, menghapus hukuman penahanan di rumah pada awal islam, dalam ayat an Nisa’ : 15-16,
َمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ ناَرًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابُُ مُّهِينُُ {14} وَالاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً {15 [
Dinaskh dengan An Nur : 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ {2}
Atau dengan didera 100 kali dan diasingkan bagi yang belum menikah ( gadis ), dan di dera 100 kali dan dirajam, bagi yang telah menikah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
“ orang tua laki-laki dan perempuan apabila berzina, maka rajamlah keduanya dengan pasti … ‘
Faedah Mengetahui Nasikh dan Mansukh
a. Memelihara kepentingan hamba
b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat kesempurnaan, sesuai dengan perkembangan kondisi umat.
c. Cobaan dan ujian bagi umat islam mukallaf, apakah mengikuti atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
***
Mahmud Mutawalli, Al Mustanir Fi ulumil Qur’an, ( Mesir : Syirkah Maktabah Mushthafa al-Halabi , 1991 ), cet. I, 110-111
Ibid, h. 115
KEMANA PARA _KAFIR PRO ISLAM_ ?
By *Abul Kasem
Malu melihat kekejaman yang dilakukan para Jihadi terhadap para non−
muslim tidak bersalah, seperti pada kasus pembantaian anak−anak TK di
Beslan, para apologis Islam yang tinggal di Barat jungkir−balik
membuktikan bahwa Islam tidak pernah menganjurkan kegiatan macam itu.
Mereka menulis essay−essay panjang, menyanjung−nyanjung janji−janji
manis Islam bagi para non−muslim. Anehnya, tidak ada satu Islamis−pun
yang tinggal di _surga Islam_ (ie; di negara−negara Islam) memberi
janji−janji manis bagi non−muslim. Padahal mereka itulah muslims asli
yang menjalankan aturan Islam secara baik dan benar. Bukan para muslim
yang numpang hidup di negara−negara Western.
Sebagian besar non−muslim yang tidak tahu akan Islam sesungguhnya −−
Islam yang murni, asli dan tidak dipalsukan yang terkandung dalam
Quran dan dikotbahkan dan dipraktekkan oleh Muhamad−− sering percaya
tulisan para pencinta Islam berpendidikan Barat itu. Mungkin sebutan
bagi para non−muslim naif ini adalah "Kafir pro Islam".
Terbuai oleh argumen−argumen lemah tsb, banyak non−muslim yang tidak
tahu bahkan dengan tegas−tegas mengakui bawha "Islam adalah agama
damai" dan bahwa hanya segolongan kecil teroris yg merusak nama baik
Islam. Tanpa mengecek Quran, para _Kafir pro Islam_ ini menerima surah−
surah Quran yang manis−manis yang sering dikutip para apologis Barat
guna mem−back up pernyataan mereka bahwa Islam memiliki rasa kasih
tidak terbatas bagi para non−muslim. Para non−muslim ini mengasumsi
bahwa Quran−nya Muhamad sama dengan Injil−nya Yesus. Mereka mengasumsi
bahwa seperti dalam Injil, Quran tidak mungkin memuat surah yang
memerintahkan pembunuhan terhadap non−muslim jika mereka menolak
Islam, satu−satunya agama yang diterima Alloh.
Mereka percaya bahwa serupa dengan Injil, Qur_an juga penuh dengan
pengampunan dan kasih bagi mereka yang berdosa terhadap Islam.
Seandainya para non−muslim tolol ini menyadari apa sebenarnya yang
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
akan terjadi pada mereka jika jatuh di tangan Islam, mereka akan
gemetar ketakutan.
Saya menyisakan banyak waktu untuk menyusun surah−surah Quran yang
berlaku bagi para non−muslim. Memang ada surah−surah yang berbicara
tentang toleransi, kebaikan & kemurahan hati dan kerjasama dengan non−
muslim. Surah−surah ini disebut SURAH−SURAH MEKAH, surah−surah yang
"diturunkan Alloh" ketika Muhamad belum berkuasa, masih lemah secara
militer dan tidak memiliki kekuatan melawan penduduk asli Mekah yang
menyembah berhala.
Pada saat Muhammad bermigrasi ke MEDINAH, Qur_an−nya juga berubah.
Sang Alloh yang dulunya manis−manja sekarang menjadi garang terhadap
para non−muslim. Begitu si Muhamad berkuasa, Sang Dewa Bulan Arab
bernama Alloh itu dengan segera menurunkan surah−surah yang
memerintahkan Muhamad agar mengkonversi secara massal para non−muslim
najis kedalam agamanya Muhammad. Kalau tidak, para non−muslim akan
menghadapi hukuman keras dari sang Alloh yang sadis dan tidak kenal
kompromi. Mengapa? Kok tiba−tiba Alloh jadi sewot betul sama non−
muslim? Jawabannya ada didepan mata. Di Medinah, Muhammad mendapatkan
kekuatan militer untuk menyerang dan menindas non−muslim. Tidak heran
surah−surah Medinah penuh dengan kebencian, dendam kesumat dan tata
cara menghancurkan para non−muslim secara total.
Mungkin anda akan bertanya; jadi mana yang berlaku, surah Mekah atau
surah−surah Medinah? Atau kedua−duanya bisa berlaku secara simbiotik?
Maksudnya kedua surah−surah bertentangan itu bisa co−exist? Jawabannya
juga simpel: prinsip ABROGASI dalam Quran jelas menegaskan bahwa versi
surah−surah terakhir (ie; versi Medinah) yang berlaku. [lihat
penjelasan _abrogasi_ di bagian akhir artikel. _adm]. Oleh karena itu,
semua surah tolenransi yang pro terhadap non−muslim dalam versi Mekah
digantikan dengan surah−surah Medina yang anti−non−muslim.
Catatan: saya menyusun surah−surah dibawah ini secara kronologis.
Surah−surah dengan urutan kronologis dibawah nomor 87 adalah surah
Mekah. Surah 2 (sura al−Bakarah) sendiri dimulai dengan nomor 87. Ini
adalah surah paling penting yang menentukan dimulainya karir Muhamad
sebagai seorang pemimpin bandit yang kuat secara militer. Memang,
surah ini adalah campuran beberapa elemen Mekah dan Medinah. Contoh:
ayat 2:256 (tidak ada paksaan dalam agama). Surah ini juga mengandung
ayat 2:193 yang menerapkan paksaan untuk menerima Islam.
Inilah kedua ayat yang saling kontradiksi:
No compulsion in religion; the truth is clear from error.
2:256 There is no compulsion in religion. The right direction is
henceforth distinct from error. And he who rejecteth false deities and
believeth in Alloh hath grasped a firm handhold which will never
break. Alloh is Hearer, Knower. [87, Medina]
Fight the infidels until they accept Islam.
2:193 And fight them until persecution is no more, and religion is for
Alloh. But if they desist, then let there be no hostility except
against wrong−doers. [87, Medina]
Anda tentu akan bertanya: ayat mana yang berlaku mengingat kedua−
duanya berada dalam surah yang sama? Ayat 2:256 atau ayat 2:193? Saya
juga ingin mendapat jawaban pasti dari para pencinta Islam. Silahkan
mengajukan jawaban tegas, jelas dan jangan memberi alasan problem
terjemahan dari bahasa Arab atau menuduh saya tidak mengerti Islam.
Inilah yang dikatakan Muhammad (or Alloh) dalam terjemahan Quran oleh
Marmaduke Pickthal:
Ketika Muhammad masih di Mekah :
Be careful of what you utter in the presence of the unbelievers; be
patient with them.
73:10 And bear with patience what they utter, and part from them with
a fair leave−taking. [3, Mecca]
Setelah Muhamad di Medina:
2:191 And slay them wherever ye find them, and drive them out of the
places whence they drove you out, for persecution is worse than
slaughter. And fight not with them at the Inviolable Place of Worship
until they first attack you there, but if they attack you (there) then
slay them. Such is the reward of disbelievers. [87, Medina]
Di Mekah:
Do not use coercion with the infidels.
50:45 We are Best Aware of what they say, and thou (O Muhammad) art in
no wise a compeller over them. But warn by the Qur'an him who feareth
My threat. [34, Mecca]
Di Medinah:
Make war on the infidels living in your neighbourhood.
9:123 Make ready for them all thou canst of (armed) force and of
horses tethered, that thereby ye may dismay the enemy of Alloh and
your enemy, and others beside them whom ye know not. Alloh knoweth
them. Whatsoever ye spend in the way of Alloh it will be repaid to you
in full, and ye will not be wronged. [113, Medina]
Sebelum:
Be patient with the unbelievers; Alloh will judge them.
10:109 And (O Muhammad) follow that which is inspired in thee, and
forbear until Alloh give judgment. And He is the Best of Judges. [51,
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
Mecca]
Sesudah:
When opportunity arises, kill the infidels wherever you catch them.
9:5 Then, when the sacred months have passed, slay the idolaters
wherever ye find them, and take them (captive), and besiege them, and
prepare for them each ambush. But if they repent and establish worship
and pay the poor−due, then leave their way free. Lo! Alloh is
Forgiving, Merciful. [113, Medina]
Sebelum:
Argue gently with the Jews, the Christians and the infidels.
16:125 Call unto the way of thy Lord with wisdom and fair exhortation,
and reason with them in the better way. Lo! thy Lord is Best Aware of
him who strayeth from His way, and He is Best Aware of those who go
aright. [70, Mecca]
Sesudah:
Kill the Jews and the Christians if they do not convert to Islam or
refuse to pay Jizya tax.
9:29 Fight against such of those who have been given the Scripture as
believe not in Alloh nor the Last Day, and forbid not that which Alloh
hath forbidden by His messenger, and follow not the Religion of Truth,
until they pay the tribute readily, being brought low. [113, Medina]
Sebelum:
One is free to practice whatever religion one belongs to.
109:6 Unto you your religion, and unto me my religion. [18, Mecca]
Sesudah:
Any religion other than Islam is not acceptable.
3:85 And whoso seeketh as religion other than the Surrender (to Alloh)
it will not be accepted from him, and he will be a loser in the
Hereafter. [89, Medina]
Sebelum:
Muslims should learn from the Books of the Jews and the Christians.
10:94 And if thou (Muhammad) art in doubt concerning that which We
reveal unto thee, then question those who read the Scripture (that
was) before thee. Verily the Truth from thy Lord hath come unto thee.
So be not thou of the waverers. [51, Mecca]
Sesudah:
The Jews and the Christians are perverts; fight them.
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran 4
9:30 And the Jews say: Ezra is the son of Alloh, and the Christians
say: The Messiah is the son of Alloh. That is their saying with their
mouths. They imitate the saying of those who disbelieved of old. Alloh
(Himself) fighteth against them. How perverse are they! [113, Medina]
Sebelum:
Do not force the infidels into Islam.
10:99: And if thy Lord willed, all who are in the earth would have
believed together. Wouldst thou (Muhammad) compel men until they are
believers? [51, Mecca]
Sesudah:
Maim and crucify the infidels if they criticise Islam.
5:33 The only reward of those who make war upon Alloh and His
messenger and strive after corruption in the land will be that they
will be killed or crucified, or have their hands and feet on alternate
sides cut off, or will be expelled out of the land. Such will be their
degradation in the world, and in the Hereafter theirs will be an awful
doom; [112, Medina]
Sebelum:
Show kindness and tolerance towards the infidels.
7:199 Keep to forgiveness (O Muhammad), and enjoin kindness, and turn
away from the ignorant. [39, Mecca]
Sesudah:
The infidels are unclean; do not let them into a mosque.
9:28 O ye who believe! The idolaters only are unclean. So let them not
come near the Inviolable Place of Worship after this their year. If ye
fear poverty (from the loss of their merchandise) Alloh shall preserve
you of His bounty if He will. Lo! Alloh is Knower, Wise. [113, Medina]
Sebelum:
Show forgiveness towards the unbelievers.
15:85 We created not the heavens and the earth and all that is between
them save with truth, and lo! the Hour is surely coming. So forgive,
(O Muhammad), with a gracious forgiveness. [54, Mecca]
Sesudah:
Be harsh with the unbelievers.
9:73 O Prophet! Strive against the disbelievers and the hypocrites! Be
harsh with them. Their ultimate abode is hell, a hapless journey's
end. [113, Medina]
Sebelum:
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran 5
Do not insult the infidels lest they insult Alloh.
6:108 Revile not those unto whom they pray beside Alloh lest they
wrongfully revile Alloh through ignorance. Thus unto every nation have
We made their deed seem fair. Then unto their Lord is their return,
and He will tell them what they used to do. [55, Mecca]
Sesudah:
Punish the unbelievers with garments of fire, hooked iron rods,
boiling water; melt their skin and bellies.
22:19 These twain (the believers and the disbelievers) are two
opponents who contend concerning their Lord. But as for those who
disbelieve, garments of fire will be cut out for them; boiling fluid
will be poured down on their heads [103, Medina]
22:20 Whereby that which is in their bellies, and their skins too,
will be melted; [103, Medina]
22:21 And for them are hooked rods of iron. [103, Medina]
22:22 Whenever, in their anguish, they would go forth from thence they
are driven back therein and (it is said unto them): Taste the doom of
burning. [103, Medina]
Sebelum:
Do not dispute with the Jews and the Christians.
29:46 And argue not with the People of the Scripture unless it be in
(a way) that is better, save with such of them as do wrong; and say:
We believe in that which hath been revealed unto us and revealed unto
you; our Alloh and your Alloh is One, and unto Him we surrender. [85,
Mecca]
Sesudah:
The Jews and the Christians are in perpetual hostility to the Muslims
2:137 And if they believe in the like of that which ye believe, then
are they rightly guided. But if they turn away, then are they in
schism, and Alloh will suffice thee (for defence) against them. He is
the Hearer, the Knower. [103, Medina]
Sebelum:
Deal kindly with those unbelievers who do not torment the Muslims.
60:8 Alloh forbiddeth you not those who warred not against you on
account of religion and drove you not out from your homes, that ye
should show them kindness and deal justly with them. Lo! Alloh loveth
the just dealers. [91, Medina]
Sesudah:
Fight the unbelievers vigorously without any exception.
25:52 So obey not the disbelievers, but strive against them herewith
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran 6
with a great endeavour. [42, Mecca]
Sebelum:
Be courteous when you speak with the infidels.
17:53 Tell My bondmen to speak that which is kindlier. Lo! the devil
soweth discord among them. Lo! the devil is for man an open foe. [50,
Mecca]
Sesudah:
Be stern with the infidels.
66:9 O Prophet! Strive against the disbelievers and the hypocrites,
and be stern with them. Hell will be their home, a hapless journey's
end. [107, Medina]
Sebelum:
Tolerate the unbelievers and be at peace with them.
43:89 Then bear with them (O Muhammad) and say: Peace. But they will
come to know. [63, Mecca]
Sesudah:
Do not hanker for peace with the infidels; behead them when you catch
them.
47:4 Now when ye meet in battle those who disbelieve, then it is
smiting of the necks until, when ye have routed them, then making fast
of bonds; and afterward either grace or ransom till the war lay down
its burdens. That (is the ordinance). And if Alloh willed He could
have punished them (without you) but (thus it is ordained) that He may
try some of you by means of others. And those who are slain in the way
of Alloh, He rendereth not their actions vain. [95, Medina]
Sebelum:
Do not force the unbelievers to accept Islam_just warn them.
50:45 We are Best Aware of what they say, and thou (O Muhammad) art in
no wise a compeller over them. But warn by the Qur'an him who feareth
My threat. [34, Mecca]
Sesudah:
The unbelievers are stupid; urge the Muslims to fight them
8:65 O Prophet! Exhort the believers to fight. If there be of you
twenty steadfast they shall overcome two hundred, and if there be of
you a hundred (steadfast) they shall overcome a thousand of those who
disbelieve, because they (the disbelievers) are a folk without
intelligence. [88, Medina]
Sebelum:
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran 7
Be friendly with the infidels to remove evil from their hearts.
41:34 The good deed and the evil deed are not alike. Repel the evil
deed with one which is better, then lo! he, between whom and thee
there was enmity (will become) as though he was a bosom friend. [62,
Mecca]
Sesudah:
Muslims must not take the infidels as friends.
3:28 Let not the believers take disbelievers for their friends in
preference to believers. Whoso doeth that hath no connection with
Alloh unless (it be) that ye but guard yourselves against them, taking
(as it were) security. Alloh biddeth you beware (only) of Himself.
Unto Alloh is the journeying. [89, Medina]
Sebelum:
The unbeliever_s scriptures are similar to the Qur_an.
46:10 Bethink you: If it is from Alloh and ye disbelieve therein, and
a witness of the Children of Israel hath already testified to the like
thereof and hath believed, and ye are too proud (what plight is
yours)? Lo! Alloh guideth not wrong−doing folk. [66, Mecca]
Sesudah:
Terrorise and behead those who believe in scriptures other than the
Qur_an.
8:12 When thy Lord inspired the angels, (saying): I am with you. So
make those who believe stand firm. I will throw fear into the hearts
of those who disbelieve. Then smite the necks and smite of them each
finger. [88, Medina]
Sebelum:
Muslims should forgive the infidels for their unbelief.
45:14 Tell those who believe to forgive those who hope not for the
days of Alloh; in order that He may requite folk what they used to
earn. [65, Mecca]
Sesudah:
Muslims must muster all weapons to terrorise the infidels.
8:60 Make ready for them all thou canst of (armed) force and of horses
tethered, that thereby ye may dismay the enemy of Alloh and your
enemy, and others beside them whom ye know not. Alloh knoweth them.
Whatsoever ye spend in the way of Alloh it will be repaid to you in
full, and ye will not be wronged. [88, Medina]
KESIMPULAN:
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran 8
Qur_an jelas menegaskan bahwa jika tiba saatnya, muslimin harus
menggunakan kekerasan untuk mengkonversi non−muslim kedalam Islam.
Para non−Muslim memiliki dua pilihan: membayar uang perlindungan yang
sangat tinggi (pajak Jizyah) atau dibunuh (dengan cara dipenggal,
tentunya).
Dalam negara dimana Islam berdominasi secara militer, dimana muslimin
memilih untuk percaya sepenuhnya kepada peraturan−peraturan Quran yang
tidak dapat diubah, tidak dimungkinkan adanya ko−eksistensi damai
dengan para non−muslim.
Dengan adanya internet sekarang, kita tinggal menunggu waktunya saat
para non−muslim menyadari apa yang sesungguhnya terkandung dalam
Quran. Pada saat mereka sadar akan nasib mereka kalau sampai negara
mereka didominasi Islam, sadarlah mereka akan ketololan mereka.
Waktunya akan tiba dimana para _Kafir Pro Islam_ akan menolak Islam.
Mereka akan menyadari bahwa ini satu−satunya cara untuk menyelamatkan
peradaban manusia dari kehancuran. Quran tidak dapat diubah. Muhamad
mengatakannya, Alloh mengatakannya. Ini berarti bahwa muslim harus
membatasi kepercayaan mereka pada hal−hal ritual saja, jadi mereka
hanya muslim dalam nama saja dan bukan muslim betulan. Muslim betulan
adalah ancaman bagi manusia dan dunia yang multikultural. Titik.
− (June, 2005)
*Abul Kasem menulis dari Sydney, Australia. Komentar dapat dikirim ke
humanist882004@xxxxxxxxx
ABROGATION
Dalam Islam ada konsep Nasikh−Mansukh atau ABROGATION (penganuliran)
untuk hapus−menghapus ayat−ayat Quran. Menurut hemat saya hal ini
membuktikan bahwa Alloh tidak konsisten dengan wahyunya dan tidak maha
tahu. Kalo maha tau, tidak perlu pakai acara ralat meralat. Berikut
ayat−ayat dalam Quran mengenai Nasikh−Mansukh:
Quran 2:106
Ayat mana saja yang Kami nasakh−kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa Alloh Maha Kuasa atas segala
sesuatu?
Quran 13:39
Alloh menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan disisi−Nya−lah terdapat Ummul−Kitab (Lauh Mahfuzh).
Quran 17:86
Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran 9
tidak akan mendapat seorang pembelapun terhadap Kami.
Quran 16:101
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Alloh lebih mengetahui apa yang diturunkan−Nya,
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada−adakan
saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Quran 22:52
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula)
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
syaitanpun memasukkan godaan−godaan terhadap keinginan itu, Alloh
menghilangkan apa yang dimaksud oleh syaitan itu, dan Alloh menguatkan
ayat−ayat−Nya. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,
Ayat 22:52 ini ada kaitannya dengan "Satanic Verse".
Ketidak−konsistenan Alloh jelas terlihat jika kita membandingkan ayat−
ayat Quran di atas dengan ayat−ayat Quran berikut yang mengatakan
bahwa kata−kata Alloh yang diwahyukan tidak pernah berubah sepanjang
masa:
Quran 10:64
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam
kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat−kalimat (janji−
janji) Alloh. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.
Quran 6:34
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul−rasul sebelum kamu,
akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang
dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap
mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat−kalimat (janji−
janji) Alloh. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari
berita rasul−rasul itu..
.
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran
NASIKH−MANSUKH atau ABROGATION (penganuliran) untuk HAPUS−MENGHAPUS ayat−ayat Quran 10
[syiar-islam] Nasikh dan Mansukh
Alex Kibadachi
Mon, 09 Mar 2009 18:18:48 -0700
Rumah Islam
Syariah dan Fiqih - Panduan Hukum Islam

Tahukah anda tentang Nasikhdan Mansukh, taukah kita bahwa pengetahuan tentang
Nasikh dan Mansukh harus dimiliki sesorang yang berfatwa (mufti) atau yang
memutuskan suatu perkara (hakim). Tahukah anda, bahwa hal tersebut sangat
dierlukan dan mufti atau hakim yang tidak menguasai akan membahayakan.

Selanjutnya....


Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman
ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/


Nasikh Mansukh Era Kekinian

Oleh :
Ahmad M. Arrozy[*]
A. Pendahuluan
Dalam komunitas diskusi gerakan sosial keagamaan saat ini memang perlu ditelaah kembali mengenai ilmu hukum-hukum ortodoks ( syari’ah ) seperti : Tauhid, Fiqh, Tasawuf, dan lain-lain. Hukum fundamental diatas merupakan hakikat dari spiritualitas masing-masing jiwa kita. Mereka ( ajaran diatas ) merupakan dasar substansial dalam memenuhi kriteria mukmin. Namun tidak terjerembab pada masalah ini saja sebagai refleksi momentum pergantian tahun.
Sudah sepatutnya seorang mukmin mengetahui fungsi akal untuk kita yang memenuhi kriteria baligh dalam perspektif fiqh misalnya. Segi keilmuan yang mencakup historisitas ( sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, lingkungan, kemiskinan ) dianggap cuma masuk wilayah ghairu mahdah.[1]Sehingga umat muslim terkesan membela jiwa individu masing-masing tidak peka terhadap lingkungan kemasyarakatan yang tiap zaman dan tempat selalu berganti dan berpindah-pindah. Semua ini mengingatkan kita pada semangat Ahlu sunnah wal jama’ah yang disebut Al-Islam Shoolikhun likulli zamaan wal makaan. Hukum Islam sangat relevan sesuai jaman dan tempat. Artinya Islam kita ini sebenarnya sangat kontekstual dalam penerapan hukum-hukumnya. Sebagai intelektual muslim pun sejatinya mampu berintegrasi antara ilmu agama yang bersifat mahdah dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran-pemikiran yang matang. Merujuk pada hasil ijma’ ulama Sunni adalah Al-Mukhafadatu ‘alal qodiimi shoolih wal akhdu bil jadiidi aslah. Yakni memelihara prinsip lama yang baik dan mengambil prinsip baru yang lebih baik.
Pada lingkup inilah, kita generasi muda mampu melakukan pembaruan ( tajdid ) yakni memulai mengkaji nasikh-mansukh. Pada tataran inilah pengkaji mengingatkan hendaknya kita berfikir secara menyeluruh ( holistical thought ) tidak mengkotak-kotak. Sebab dewasa ini integritas sangat perlu dibutuhkan antara moralitas dan amalannya. Oleh karena itu sangat perlu hasil ijtihad kontemporer dari segi keilmuan seperti : ilmu kealaman ( Al-Ulum At-Tabi’iyah ), ilmu-ilmu sosial ( Al-Ulum Al-Ijtimaa’yaat ), ilmu-ilmu budaya ( Al-Ulum At-Tsaqafiyah ), ilmu Ketuhanan ( Al-Ulum Ilahiyaat )sebagai pendekatan keilmuan ( Approaching by Science ).[2]Semoga.
B. Isi
Akar historis nasikh mansukh ini sebenarnya adalah masuk kaedah-kaedah ilmu Ushul Fiqh. Namun nasikh mansukh dalam praktisnya masuk pada wilayah fiqh ( tuntunan atau yurisprudensi Islam ). Secara definisi nasikh adalah pembatalan atau lebih tepatnya penghapusan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian. Penghapusannya secara jelas atau tersurat ( dhimni ). Baik itu penghapusan secara keseluruhan ( kulliy ) atau sebagian ( juz’iy ), menurut kepentingan amalannya.[3]Semua ini diamalkan demi sebuah kemaslahatan. Perlu diingat yang dihapus itu pada tataran tuntunan bukan pada tataran akidah dan tauhid seperti keimanan. Juga diperuntukkan kepada orang yang mempunyai akal, dalam fiqh disebut taklif atau orang terbebani dalam melakukan syari’at. Nasikh ( penghapus ) itu terpisah dari mansukh ( yang dihapus ) maka datangnya lebih awal mansukh daripada nasikh. Jika nasikh bersambung dengan mansukh maka bisa disebut syarat, sifat, istitsna’ ( pengecualian ) dan bukan disebut nasikh mansukh. Mansukh dibatasi oleh waktu tertentu. Misalnya : “Dan makan-minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”( QS:2 : 187 ). Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh, tidak boleh lebih lemah daripadanya. Karena yang lebih lemah tidak sanggup menghapus yang kuat. Oleh karena itu hadist Ahad bisa mansukh dengan hadits Mutawatir dan tidak boleh sebaliknya. Kemudian penghapusan ada yang terhadap hukum dan tulisannya sekaligus. Ada yang hukumnya saja dan tulisannya masih tetap dan ada yang tulisannya saja sedang hukumnya masih tetap.[4]
Berdasarkan amalannya nasikh mansukh diklasifikasikan menjadi berbagai macam.[5]
1. Nasakh Al-kitab Bi Al-kitab : Penghapusan ayat Al-Quran yang turun lebih dahulu dengan ayat turun kemudian. Dalam pendekatan pola filsafat ini disebut pengkokohan. Karena lebih kokoh jika dua ayat yang substansinya sama. Kemunculan dua ayat ini dirasakan untuk kemaslahatan dan sesuai kondisi ummat Islam pada waktu itu. Misalnya : jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir ( QS: 8: 65 ). Ayat ini dinasakh dengan ayat “ Sekarang Allah telah meringankan kamu dan Dia telah mengetahui kelemahan ada pada kamu. Maka, jika ada diantara kamu seratus orang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantara kamu ada seribu orang ( yang sabar ), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika kamu seribu orang ( yang sabar ) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang ( musuh ) ( QS : 8: 66 ).
2. Nasakh Al-kitab Bi As-sunnah : Penghapusan ayat yang datang lebih dahulu dengan hadits yang datang kemudian. Namun syaratnya hadist Mutawatir. Misalnya : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan maut jika dia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf ( QS : 180 ). Dinasakhkan oleh hadist: “ketahuilah tiada wasiat untuk ahli waris” ( H.R. Ad-Darutquthni dari Jabir R.A ).
3. Nasakh As-sunnah Bi Al-kitab : Sebaliknya dari nomer 2. Misalnya : Perbuatan Nabi SAW dan para shahabat menghadap ke Baitil-Maqdis dalam Shalat dinasakhkan ayat : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidi Haram….” ( QS: 2 :144 ).
4. Nasakh As-sunnah bi As-sunnah : Penghapusan hadist dengan hadist. Misalnya: “Dulu aku telah melarangmu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah karena mengingatkan pada kematian” ( HR. Hakim dari Anas ).
5. Nasakh Dimniy : Penghapusan secara tersirat ( implisit ). Jika nash ( teks ) tidak memberi perintah secara tegas. Maka yang ada dua syari’ dengan hukum yang terdahulu ( qadiim ) dan tidak boleh menggabungkannya. Maka dianggaplah hukum yang datang kemudian sebagai penghapus.
6. Nasakh Juz’iy : Penghapusan yang bersifat sebagian. Hukum yang mutlak ini dihapus dengan melibatkan sebagian keadaan. Misalnya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik ( berbuat zina ) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali” ( QS: 64: 4). Ayat ini menunjukkan bahwa penuduh wanita bersuami yang tidak mempunyai bukti ( bayyinah ) atas tuduhannya dapat didera.
7. Nasakh Kulliy : Penghapusan secara menyeluruh. Misalnya: Menghapus kewajiban memberi warisan kepada orang tua dan sanak kerabat. Seperti juga menghapus masa tenggang ( ‘iddah ) Seorang istri yang ditinggal suaminya selama setahun dengan ‘iddah lebih ringan yakni empat bulan sepuluh hari. Tercantum di QS : 2 : 240 dan QS : 2 : 234.
8. Nasakh Sharih : Penghapusan nash secara tegas dalam pembentukan syari’at. Karena otoritasnya lebih kuat dan lebih jelas yang datang kemudian seperti penghapusan hadist ziarah kubur tadi.
Mengenai Ushul Fiqh ada kaedah yang menyatakan Idza Nusikha Alwujub yabqol jawaz .[6] Kaedah diatas juga mempengaruhi pada umumnya. Yakni jika telah dihapuskan kewajiban-kewajiban maka yang tersisa adalah keringanan. Seperti Puasa ‘Asyura yang hukumnya mubah dalam amalannya. Karena kita tahu akar historisnya untuk menghormati orang-orang muslim yang menunaikan ibadah haji. Perlu diingat nasikh-mansukh hanya pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan tidak boleh diterapkan oleh para ulama namun ini menjadi salah satu komposisi untuk mempertimbangkan dalam qiyas, ijma’, dan ijtihad.
Untuk era kekinian, ada pola nasikh mansukh yang dapat direkomendasikan sebagai sebuah penghormatan damai. Berkaitan konteksnya untuk menjaga keharmonisan antar agama maka untuk mendamaikan hal tersebut pola diatas dirasa sangat memungkinkan. Misalnya ada hadits yang mengatakan bahwa “janganlah kamu mendahului mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan apabila kamu berpapasan dengan salah seorang mereka di tengah jalan maka pepetkanlah ia di tengah jalan” ( H.R.Muslim). Hadits menurut konteksnya keluar karena kondisi peperangan antara umat muslim di zaman nabi dengan kabilah Yahudi. Namun itu terhapus jika kondisi dalam keadaan damai saja dengan ayat Al-Quran seperti : ( Ibrahim berkata kepada ayahnya yang non-Tauhid): Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampunan kepada Tuhanku untukmu ; Sesungguhnya dia amat baik bagiku ( Maryam: 47 ).[7] Pendapat ini diperkuat oleh Al-Qurthubi, Ibnu Mas’ud ( w 32/ 652), Al-Auzai ( w. 157/774), Al-Bahili ( w. 86 H).[8] Mereka mengucapkan salam kepada orang Non-muslim, dan yang terakhir mereka berhujjah “kita diperintahkan untuk menyebarkan salam perdamaian oleh Nabi Muhammad SAW “dalam penjelasannya Al-Qurthubi. Tetapi perlu diketahui juga tidak semua non-muslim senang diucapkan salam. Maka ini menunjukkan inferioritas mana umat yang wasathan dan mana yang tidak. Uushikum wa iyya ya bi taqwa Allah. Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil’alamiin.

[1] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm 21.
[2] Majelis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama ,( Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2000), hlm xi.
[3] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh , ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 ), hlm 243.
[4] Ibid.hlm 244.
[5] Ibid. hlm 244-246.
[6] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan Fi ‘Ilmi Ushul Fiqh, ( Ponorogo: Darussalam Press, tanpa tahun), hlm 41.
[7] Lihat dalam Majelis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah,Op.cit. hlm 74-75.
[8] Bandingkan dengan Al-As’ariyah, Ibnu Taimiyah, Sayid Quthb, Ibnu Baz. Mereka hidup dalam kondisi politik yang sangat keras.

[*] Disampaikan di GJDJ IMM UGM bertempat Masjid Al-Iman tgl 1 Januari 2009. Pengkaji adalah Sekretaris Bidang Keilmuan IMM UGM, mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya. Saran dan Kritik dapat di akses amarrozy_mediu@yahoo.com Terimakasih.




Soal Nasikh dan MansukhIlmu Tafsir dan ProblematikanyaPemahaman dan Tafsir Al-Quran
DAFTAR ISI» Arti Naskh» Siapa yang Berwenang Melakukan NaskhReferensiSeandainya (Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS 4:82).Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai --memiliki gejala kontradiksi, mereka mengkompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi, den ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Quran. Karena disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.Arti NaskhTerdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta'akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan).Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan 'aql dan naql (Al-Quran).Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: "Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya."Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah."Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan AlMaraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.Menurut mereka, "ayat" yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah mukjizat para nabi. Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh "pembatalan", dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi "kebatilan" yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta'akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad 'Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.Muhammad 'Abduh --walaupun tidak mendukung pengertian kata "ayat" dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai "ayat-ayat hukum dalam Al-Quran", dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan "Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" yang menurutnya mengisyaratkan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah mukjizat-- tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata "Ilmu Tuhan", "diturunkan", "tuduhan kebohongan", adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata "ayat" dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.Apa yang dikemukakan oleh 'Abduh di atas lebih dikuatkan lagi dengan adanya kata "Ruh Al-Quds" yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta'awwudz (a'udzu billah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang "pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)". Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya "turun" serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).Kembali kepada 'Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan "pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain" (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.Siapa yang Berwenang Melakukan NaskhPertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta'akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.Pengarang buku Manahil Al-'Irfan mengemukakan bahwa Para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidakMenurutnya, Al-Syafi'i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak --walaupun secara teoretis-- dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy'ariah maupun Mu'tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran.Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata "wahyu Ilahi" tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: "Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula." Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah "apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?"Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat --kalau hal tersebut dinamai naskh-- bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.Hadis "La washiyyata li warits" (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat "kewajiban berwasiat" (QS 2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.Kata-kata "sesungguhnya Allah telah memberikan" dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah "pergantian" seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, "apabila Kami mengganti suatu ayat ...", kata "kami" di sini menurut hemat penulis, sebagaimana halnya secara umum kata "Kami" yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.
Referensi· Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992. · Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004 · Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997. · Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007. · Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008. · Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA. · Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008. · Al-Fairuzzabadiy, Al-Qamus Al-Muhith, Al-Halabiy, Mesir, cet. II, 1952, Jilid I · Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, cet. I, jilid III · Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at, Dar Al-Ma'arif, Beirut, 1975, jilid III · Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir 1980, Jilid II · Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t.h., jilid I · Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid I · Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1367 H, cet. III, jilid 1 · alquran.bahagia.us, keislaman.com, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008. · Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979. · Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008. · M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008. · Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008. · Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.