UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
20/11/2008
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : |
a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan
tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang;
b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana
dimaksud pada huruf a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;
c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain
mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-undang tentang Keuangan Negara;
|
Mengingat : |
Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal
18A, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal
23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar 1945; |
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut
APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut
APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih.
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.
kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Pasal 3
(1)Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.(2)APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.
(3)APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4)APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
(5)Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6)Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7)Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8)Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Pasal 4
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember.
Pasal 5
(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban
APBN/APBD adalah mata uang Rupiah.(2)Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai de- ngan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6
(1)Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan
Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah
daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara
lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 7
(1)Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai
tujuan bernegara.(2)Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.
Pasal 8
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan
mempunyai tugas sebagai berikut :a)menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b)menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c)mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d)melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e)melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
f)melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g)menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h)melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 9
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang
dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan
menyetorkannya ke Kas Negara;
e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara
/lembaga yang dipimpinnya;
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 10(1)Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c :
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah
selaku pejabat pengelola APBD;
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku
pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
(2)Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
(3)Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung
jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11
(1)APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap
tahun dengan undang- undang.(2)APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3)Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
(4)Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelak- sanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
(5)Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 12
(1)APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara
dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.(2)Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3)Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4)Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1)Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan
kerangkaekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.(2)Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangkaekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3)Berdasarkan kerangkaekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Pasal 14
(1)Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga tahun berikutnya.(2)Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3)Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
(4)Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5)Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1)Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN,
disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.(2)Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
(4)Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilak- sanakan.
(5)APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6)Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
(1)APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap
tahun dengan Peraturan Daerah.(2)APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3)Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
(4)Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
(1)APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah.(2)Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3)Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(4)Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 18
(1)Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya
sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan
RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.(2)DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3)Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah tahun berikutnya.(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 20
(1)Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD,
disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu
pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.(2)Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3)DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(4)Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5)APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DANBANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTAPEMERINTAH/LEMBAGA ASING
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DANBANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTAPEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
Pasal 22
(1)Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.(2)Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya.
(3)Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4)Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain dengan persetujuan DPRD.
Pasal 23
(1)Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima
hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.(2)Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.
BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
Pasal 24
(1)Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan
menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.(2)Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
(3)Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
(4)Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah.
(5)Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.
(6)Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.
(7)Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.
Pasal 25
(1)Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan
pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.(2)Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
(1)Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.(2)Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
(1)Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.(2)Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah Pusat.
(3)Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4)Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN
dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.(5)Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 28
(1)Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.(2)Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah.
(3)Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum
APBD;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4)Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang
belum tersedia angga- rannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan
perubahan APBD, dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.(5)Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun angga- ran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk menda- patkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN
dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30
(1)Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBNkepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.(2)Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Pasal 31
(1)Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDkepada DPRD berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh Badan Peme- riksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan setelah tahun anggaran berakhir.(2)Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
Pasal 32
(1)Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBDsebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan
sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.(2)Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam
undang-undang tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI
ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI
DAN GANTI RUGI
Pasal 34
(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti
melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang
tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan
denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 35
(1)Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar
hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan
keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.(2)Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3)Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
(4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1)Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16
undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama
pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum
dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.(2)Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah, demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/ pemerintah daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat berlakunya undang-undang ini :
1. Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun
1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
2. Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936
Nomor 445;
3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor
381;
sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal 38
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 5 April 2003
Diundangkan di Jakarta
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2003 NOMOR 47
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
I.
UMUM
1. Dasar Pemikiran
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea
IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan
pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan
negara.Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.
Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang- undangan tersebut tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara.
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
1. Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan
Pengelolaan Keuangan Negara yang Diatur dalam Undang-undang ini
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara
yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup
keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan
Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan
APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah
dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah
dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian
laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi
obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang
dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara.Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
1. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan
negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional,
terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar
1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum
yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan
negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan
kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
·
akuntabilitas berorientasi
pada hasil;
·
profesionalitas;
·
proporsionalitas;
·
keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan negara;
·
pemeriksaan keuangan oleh
badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya
prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab
VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam
Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain
menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan
untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi
kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk
membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari
kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal
dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden
dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO)
Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada
hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu
pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat
kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme
checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme
dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
1. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang
ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan
peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran,
pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran,
penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka
pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral,
Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan
Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan
negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan
lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing,
badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan perusahaan
negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan badan pengelola dana
masyarakat. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral
ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam
penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan
pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah
pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu,
undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri
pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan
daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa
pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima
pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan
DPR/DPRD.
1. Pelaksanaan APBN dan APBD
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya
dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi
kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam
keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di
dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan
kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja
pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian
negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana
perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan
keperluan perusahaan/badan yang menerima.Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/ lembaga di lingkungan pemerintah.
1. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban
keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun
dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
I.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Pasal 3
Ayat (1)
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan Penerimaan Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Piutang dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Utang dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undang-undang/keputusan pengadilan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam pungutan perpajakan tersebut termasuk pungutan bea masuk dan cukai.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertang-gungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
Pasal 17
Ayat (1)
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Pasal 24
Ayat (1)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat ini tidak termasuk perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam aturan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara/lembaga.
Pasal 31
Ayat (1)
Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang diminta, Badan Pemeriksa Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya standar akuntansi pemerintahan yang diajukan oleh Pemerintah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Kebijakan yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil yang harus dicapai dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian negara/lembaga/pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undang-undang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun. Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya Undang-undang ini dan sudah selesai dalam waktu 2 (dua) tahun.
Pasal 39
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 4286
20/11/2008
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
|
|
Mengingat
:
|
Pasal
4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal
20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal
23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat
Undang-Undang Dasar 1945;
|
Dengan
Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG
TENTANG KEUANGAN NEGARA.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
- Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
- Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
- Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
- Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
- Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
- Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
- Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
- Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
- Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
- Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
- Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
- Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
- Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
- Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pasal 2
Keuangan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
- hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
- kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
- Penerimaan Negara;
- Pengeluaran Negara;
- Penerimaan Daerah;
- Pengeluaran Daerah;
- kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
- kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
- kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Pasal 3
(1)Keuangan
Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
(2)APBN,
perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan
dengan undang-undang.
(3)APBD,
perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
(4)APBN/APBD
mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi.
(5)Semua
penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam
tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6)Semua
penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam
tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7)Surplus
penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8)Penggunaan
surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk
membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Pasal 4
Tahun
Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember.
Pasal 5
(1)
Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD
adalah mata uang Rupiah.
(2)Penggunaan
mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai
de- ngan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6
(1)Presiden
selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2)
Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
- dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
- dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
- diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
- tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 7
(1)Kekuasaan
atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.
(2)Dalam
rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.
Pasal 8
Dalam
rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan
mempunyai tugas sebagai berikut :
a)menyusun
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b)menyusun
rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c)mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran;
d)melakukan
perjanjian internasional di bidang keuangan;
e)melaksanakan
pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
f)melaksanakan
fungsi bendahara umum negara;
g)menyusun
laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h)melaksanakan
tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan
undang-undang.
Pasal 9
Menteri/pimpinan
lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :
- menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
- menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
- melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
- melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara;
- mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
- mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
- menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
- melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal
10
(1)Kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c
:
- dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD;
- dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
(2)Dalam
rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai
tugas sebagai berikut :
- menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
- menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
- melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
- melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
- menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(3)Kepala
satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah
mempunyai tugas sebagai berikut:
- menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
- menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
- melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
- melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
- mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
- mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
- menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11
(1)APBN
merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan
undang- undang.
(2)APBN
terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3)Pendapatan
negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
(4)Belanja
negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat
dan pelak- sanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
(5)Belanja
negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 12
(1)APBN
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
(2)Penyusunan
Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja
Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3)Dalam
hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4)Dalam
hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana
penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1)Pemerintah
Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangkaekonomi makro tahun
anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya
pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
(2)Pemerintah
Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangkaekonomi makro dan
pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam
pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3)Berdasarkan
kerangkaekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat
bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran
untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan
usulan anggaran.
Pasal 14
(1)Dalam
rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga tahun berikutnya.
(2)Rencana
kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai.
(3)Rencana
kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang
disusun.
(4)Rencana
kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5)Hasil
pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan
sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
(6)Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1)Pemerintah
Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan
dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan
Agustus tahun sebelumnya.
(2)Pembahasan
Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang
mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)Dewan
Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
(4)Pengambilan
keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang
APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan dilak- sanakan.
(5)APBN
yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.
(6)Apabila
Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
(1)APBD
merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan
Peraturan Daerah.
(2)APBD
terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3)Pendapatan
daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah.
(4)Belanja
daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
(1)APBD
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah.
(2)Penyusunan
Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana
kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3)Dalam
hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(4)Dalam
hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam
Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 18
(1)Pemerintah
Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan
dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD
kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
(2)DPRD
membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3)Berdasarkan
kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran
sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pasal 19
(1)
Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku
pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah tahun berikutnya.
(2)
Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3)
Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan
belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4)
Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada
DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5)
Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat
pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD tahun berikutnya.
(6)Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 20
(1)Pemerintah
Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan
dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober
tahun sebelumnya.
(2)Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang
yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3)DPRD
dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(4)Pengambilan
keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan
selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan.
(5)APBD
yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6)
Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DANBANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTAPEMERINTAH/LEMBAGA ASING
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DANBANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTAPEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah
Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan
fiskal dan moneter.
Pasal 22
(1)Pemerintah
Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan
undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2)Pemerintah
Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau
sebaliknya.
(3)Pemberian
pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4)Pemerintah
Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain
dengan persetujuan DPRD.
Pasal 23
(1)Pemerintah
Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari
pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
(2)Pinjaman
dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/
Perusahaan Daerah.
BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
Pasal 24
(1)Pemerintah
dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima
pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
(2)Pemberian
pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
(3)Menteri
Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
(4)Gubernur/bupati/walikota
melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah.
(5)Pemerintah
Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah
mendapat persetujuan DPR.
(6)Pemerintah
Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah
mendapat persetujuan DPRD.
(7)Dalam
keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat
dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan
swasta setelah mendapat persetujuan DPR.
Pasal 25
(1)Menteri
Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
(2)Gubernur/bupati/walikota
melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang
mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.
(3)Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
(1)Setelah
APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
(2)Setelah
APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
(1)Pemerintah
Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk 6
(enam) bulan berikutnya.
(2)Laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya
pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara
DPR dan Pemerintah Pusat.
(3)Penyesuaian
APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan
Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun
anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
- perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
- perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
- keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
- keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4)Dalam
keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau
disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5)Pemerintah
Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran
yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.
Pasal 28
(1)Pemerintah
Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk 6
(enam) bulan berikutnya.
(2)Laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya
pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara
DPRD dan Pemerintah Daerah.
(3)Penyesuaian
APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan
Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun
anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
- perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
- keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
- keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4)Dalam
keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia angga- rannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan
APBD, dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5)Pemerintah
Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun
angga- ran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) untuk menda- patkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.
Pasal 29
Ketentuan
mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD
ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30
(1)Presiden
menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBNkepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
(2)Laporan
keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan
laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Pasal 31
(1)Gubernur/Bupati/Walikota
menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBDkepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Peme-
riksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
(2)Laporan
keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan
laporan keuangan perusahaan daerah.
Pasal 32
(1)Bentuk
dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBDsebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan.
(2)Standar
akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu
komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang
tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI
DAN GANTI RUGI
Pasal 34
(1)
Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda
sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(2)
Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah
ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(3)
Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang
kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 35
(1)Setiap
pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan
negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
(2)Setiap
orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan
uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3)Setiap
bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi
atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
(4)
Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang
mengenai perbendaharaan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1)Ketentuan
mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(2)Batas
waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah,
demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/
pemerintah daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 dan Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada
saat berlakunya undang-undang ini :
- Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
- Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445;
- Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381;
sepanjang
telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 38
Ketentuan
pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Pasal 39
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah
sah
pada
tanggal 5 April 2003
Diundangkan
di Jakarta
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS
NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2003 NOMOR 47
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
- UMUM
- Dasar Pemikiran
Dalam
rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan
pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan
negara.
Sebagai
suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan
pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara
harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan
bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan
dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan
amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.
Selama
ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan
perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda
yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No.
448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955
Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan
pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische
Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor
het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam
pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie
en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320.
Peraturan perundang- undangan tersebut tidak dapat mengakomodasikan berbagai
perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan
keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun
berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil
sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi
dilaksanakan.
Kelemahan
perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab
terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara.
Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem
pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan
pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang
berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan
suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara.
Upaya
untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah
dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian
Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari
berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban
konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
- Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan Pengelolaan Keuangan Negara yang Diatur dalam Undang-undang ini
Hal-hal
baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur
dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,
asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada
Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan
mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan
pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan
perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola
dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang
ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan
pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di
lingkungan pemerintahan secara internasional.
- Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Pendekatan
yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek,
proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan
Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki
negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari
sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari
sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bidang
pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub
bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
- Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam
rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka,
dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan
negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan
kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
- akuntabilitas berorientasi pada hasil;
- profesionalitas;
- proporsionalitas;
- keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
- pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas
umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip
pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam
Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain
menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan
untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden
selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi
kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk
membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari
kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal
dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu
Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga
pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang
tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar
terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya
mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan
profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Sub
bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal
dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi
kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Sesuai
dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian
kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota selaku
pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah
tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
- Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
Ketentuan
mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi
penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD
dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian
sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan
klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran
jangka menengah dalam penyusunan anggaran.
Anggaran
adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen
kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai
tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi
anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan
pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran
aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan
dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja
daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan
DPR/DPRD.
Masalah
lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di
sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat
bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria
pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam
penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah,
perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem
penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja
dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi
sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran
akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan
dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor
publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan
klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan
transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran
berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai
kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor
publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik
keuangan pemerintah.
Selama
ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan
anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan
anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan
pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang
terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu,
penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima
tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan
semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
dalam era globalisasi.
Perkembangan
dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan
fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan
sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure
Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun
anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan
berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam
undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di
DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan
komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di
DPR/DPRD.
- Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan
dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu
diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan
lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah,
pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara
pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan
badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral
berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya
kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah
daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman
luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara,
perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat
ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal
kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah
mendapat persetujuan DPR/DPRD.
- Pelaksanaan APBN dan APBD
Setelah
APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan
lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian
negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden
tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang
APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian
negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk
tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan
dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota
dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Untuk
memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah
pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama
kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi
yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan
APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester
berikutnya.
Ketentuan
mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD
ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara
mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian
negara/ lembaga di lingkungan pemerintah.
- Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Salah
satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan
pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan
mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.
Dalam
undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan
APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri
dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas
laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah.
Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan
pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus
disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya
tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam
rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang
bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam
Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi
manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian
negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan
dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan
(output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang
berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan
unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi
tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi
sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah
tentang APBD yang bersangkutan.
Selain
itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang
diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat
berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua
kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian
keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur
pengendalian intern yang andal.
- PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas
Pasal
2
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Cukup
jelas
Huruf
h
Cukup
jelas
Huruf
i
Kekayaan
pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola
oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di
lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Pasal
3
Ayat
(1)
Setiap
penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pengelolaan
dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan,
penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Fungsi
otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi
perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi
pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan.
Fungsi
alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
Fungsi
distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan.
Fungsi
stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Ayat
(7)
Cukup
jelas
Ayat
(8)
Cukup
jelas
Pasal
4
Cukup
jelas
Pasal
5
Cukup
jelas
Pasal
6
Ayat
(1)
Kekuasaan
pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi kewenangan
yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan
yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan
prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan
pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian
negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan
Penerimaan Negara.
Kewenangan
yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan
pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan
APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset
dan piutang negara.
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga
pemerintah nonkementerian negara.
Di
lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat
yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan.
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Pasal
7
Cukup
jelas
Pasal
8
Cukup
jelas
Pasal
9
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Piutang
dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan
pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang
bersangkutan.
Utang
dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam
rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab
kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran dan/atau
kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undang-undang/keputusan pengadilan.
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Penyusunan
dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk prestasi kerja yang
dicapai atas penggunaan anggaran.
Huruf
h
Cukup
jelas
Pasal
10
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Cukup
jelas
Huruf
e
Cukup
jelas
Huruf
f
Cukup
jelas
Huruf
g
Penyusunan
dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk prestasi kerja yang
dicapai atas penggunaan anggaran.
Pasal
11
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Dalam
pungutan perpajakan tersebut termasuk pungutan bea masuk dan cukai.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Rincian
belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian
negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian
belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum,
pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan
fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan
perlindungan sosial.
Rincian
belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial, dan belanja lain-lain.
Pasal
12
Ayat
(1)
Dalam
menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui
pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Defisit
anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah
pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.
Ayat
(4)
Penggunaan
surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertang-gungjawaban
antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan
dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Pasal
13
Cukup
jelas
Pasal
14
Cukup
jelas
Pasal
15
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Perubahan
Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak
mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Pasal
16
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Rincian
belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga
teknis daerah.
Rincian
belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum,
ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas
umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan
sosial.
Rincian
belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan
bantuan sosial.
Pasal
17
Ayat
(1)
Dalam
menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui
pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Defisit
anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang
bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto
daerah yang bersangkutan.
Ayat
(4)
Penggunaan
surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar
generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang,
pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Pasal
18
Cukup
jelas
Pasal
19
Cukup
jelas
Pasal
20
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Perubahan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang
tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Pasal
21
Cukup
jelas
Pasal
22
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Pemerintah
wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian
pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal
23
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Pemerintah
wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian
pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Pasal
24
Ayat
(1)
Pemerintah
wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian
pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Ayat
(7)
Cukup
jelas
Pasal
25
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat ini tidak termasuk
perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam aturan tersendiri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal
26
Cukup
jelas
Pasal
27
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Pengeluaran
tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang
kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan.
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Pasal
28
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Pengeluaran
tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang
kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Pasal
29
Cukup
jelas
Pasal
30
Ayat
(1)
Pemeriksaan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat.
Ayat
(2)
Laporan
Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga
menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara/lembaga.
Pasal
31
Ayat
(1)
Pemeriksaan
laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya
2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Daerah.
Ayat
(2)
Laporan
Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga
menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
Pasal
32
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Apabila
dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang diminta, Badan Pemeriksa
Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya standar akuntansi pemerintahan yang
diajukan oleh Pemerintah.
Pasal
33
Cukup
jelas
Pasal
34
Ayat
(1)
Kebijakan
yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil yang harus dicapai
dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian negara/lembaga/pemerintahan
daerah yang bersangkutan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal
35
Cukup
jelas
Pasal
36
Cukup
jelas
Pasal
37
Cukup
jelas
Pasal
38
Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undang-undang ini sudah
harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun. Pelaksanaan
penataan dimulai sejak ditetapkannya Undang-undang ini dan sudah selesai dalam
waktu 2 (dua) tahun.
Pasal
39
Cukup
jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 4286
Tidak ada komentar:
Posting Komentar